Jumat 30 Mar 2012 16:59 WIB

Usai Pandangan Fraksi, Rapat Paripurna Diskors

Rep: Mansyur Faqih/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rapat paripurna DPR untuk menentukan sikap terkait usulan pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi diskors untuk lobi pimpinan fraksi. Tujuannya, untuk mengerucutkan pilihan atau menemukan kesepakatan sikap terkait kenaikan BBM.

Ini diusulkan dan diputuskan Ketua DPR Marzuki Alie yang bertindak sebagai pimpinan sidang dengan jumlah anggota 531 orang. Sidang itu sendiri dimulai pukul 13.30 WIB dan berakhir pada 16.00 WIB.

Dalam rapat itu, pandangan sembilan fraksi yang ada di DPR mengerucut pada dua kubu. Yaitu, mereka yang menginginkan pasal 7 ayat 6 UU Nomor 22/2011 tentang APBN 2012 tetap dipertahankan dan tidak diperlukan tambahan pasal. Opsi ini didukung tiga fraksi, yaitu PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura.

Sementara itu, opsi kedua menilai perlunya ada tambahan satu ayat yang tercermin dalam pasal 7 ayat 6A. Ini sesuai dengan usulan pemerintah untuk mengakomodasi perkembangan fluktuasi harga minyak mentah Indonesia (ICP).

Artinya, pendukung opsi masih membuka pintu untuk menaikan harga BBM. Enam fraksi mendukung opsi ini, yaitu Demokrat, PAN, Golkar, PKS, PPP, dan PKB.

Pasal 7 ayat 6A usulan pemerintah berbunyi, 'dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari lima persen dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBNP 2012, pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.'

Hanya saja, ada perbedaan pandangan beberapa fraksi terkait besaran prosentase. Fraksi Demokrat sepakat dengan besaran lima persen yang diusulkan pemerintah. Sementara itu, fraksi Golkar dan PAN mengusulkan 15 persen, PKS 20 persen, PKB 17,5 persen, dan PPP 10 persen.

Theodorus Jacob Koekrits dari fraksi PDI Perjuangan menjelaskan, pihaknya tak perlu memberikan pendapat lagi. "Karena itu pendapat kami sebenarnya. Jadi pimpinan, kiranya tak perlu lagi ada putaran kedua. Putuskan segera pasal 7 ayat 6 tetap berlaku dan pasal siluman atau akal-akalan jangan dimasukan lagi," katanya ketika membacakan sikap fraksi di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (30/3).

Penolakan juga disampaikan Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Menurutnya, Gerindra tetap ingin mempertahankan keberadaan pasal 7 ayat 6 UU APBN dan tidak menerima usulan ayat 6A.

Pasalnya, keberadaan pasal itu bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Pasal itu berbunyi, 'Bumi air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.'

Ia juga mengatakan, agar pemerintah mempertahankan harga lama dan tidak membebankan masyarakat, sehingga dapat menciptkaan kemiskinan baru. Di tengah situasi sulit seperti ini, kata Muzani, Gerindra berjuang agar BBM tetap dipertahankan seperti sekarang.

"Karena itu Gerindra melihat negara masih memiliki kemampuan. BBM belum naik saja harga sudah tinggi, apalagi naik. Kami mengharap paripurna menetapkan bersama-sama menyepakati penetapan pasal 7 ayat 6 tanpa ayat 6A," ujar dia.

Sementara itu, Erik Satrya Wardhana menambahkan, pihaknya tidak mengakomodasi kenaikan BBM dari Rp 4.500 ke Rp 6.000. Selain itu, juga menolak usulan pemerintah untuk penambahasan pasal 7 ayat 6A dan tetap mempertahankan pasal 7 ayat 6.

"MK sudah membatalkan pasal 28 ayat 2 UU 22/2001 tentang migas yang mengatakan harga BBM berdasarkan harga pasar yang wajar. Artinya kalau merujuk ke harga ICP, itu bertentangan UUD," ujar dia.

Meskipun tetap menyatakan menolak, namun PKS tetap membuka peluang untuk menaikan harga BBM di masa mendatang melalui adanya pasal 7 ayat 6A. "PKS sependapat bahwa RAPBN-P pasal 7 ayat 6 masih tetap. Serta pasal 6A hanya dimungkinkan apabila harga kenaikan di atas 20 persen dan dihitung 90 hari atau tiga bulan dari sekarang," ujar Sekretaris Fraksi PKS, Abdul Hakim. 

Sementara itu, Achmadi Nur Supit dari Fraksi Golkar meminta besaran prosentase 15 persen dengan kurun waktu enam bulan. Selain itu, fraksi ini juga meminta ada penambahan penjelasan. Yaitu, yang dimaksud harga rata-rata ICP dalam kurun waktu berjalan adalah realisasi harga selama enam bulan terakhir. 

Fraksi Golkar juga menegaskan sikap penolakan terhadap kenaikan harga BBM. Sikap ini berbeda dengan sikap awal partai yang menyatakan mendukung rencana pemerintah tersebut. Alasannya, melihat berkembangnya sikap penolakan masyarkat terhadap rencana tersebut.

Ia melihat, pemberian persetujuan penambahan subsidi sebesar Rp 58 triliun menjadi Rp 225 trilun merupakan angka yang sangat cukup. Apalagi ditambah penghematan yang memang seharusnya dilakukan pemerintah.

"Karena itu, Golkar menolak kenaikan BBM. Kenaikan BBM memang ada di domain pemerintah. Tapi saat ini kita anggap itu tidak perlu dilakukan," pungkas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement