REPUBLIKA.CO.ID, PALU---Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengaku prihatin atas unjuk rasa penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak di Palu yang berakhir bentrok.
Menurut Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah Dedi Askary, penanganan bentrok oleh kepolisian tidak harus dilakukan secara represif karena mahasiswa dan masyarakat yang menyampaikan aspirasinya bukanlah teroris. "Seharusnya Polri di lapangan lebih persuasif. Demonstrans bukanlah teroris yang layak dikerasi. Sebaliknya, mahasiswa dan massa aksi juga wajib menjauhi anarkisme, awasi sekeliling agar aksi tidak ditumpangi provokator," kata Dedi.
Dedi mengatakan dalam situasi apa pun, termasuk dalam situasi perang sekalipun masyarakat sipil harus terlindungi oleh otoritas negara yang diberi tugas mengendalikan keamanan.
"Massa aksi itu menuntut jangan naikkan BBM. Kenapa menaikkan BBM sama dengan memunculkan problem pelanggaran HAM bidang ekonomi, sosial ekonomi budaya yaitu harga pupuk naik, harga beras naik, pengangguran meningkat," kata Dedi.
Menurut Dedi, membubarkan massa aksi untuk dan atas nama alasan apap un, itu melanggar HAM. Aksi dan penyampaian pendapat adalah Hak Konstitusional setiap warga.
Dedi mengatakan dalam penanganan unjuk rasa penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak di Palu terdapat praktik kekerasan dilakukan polisi.
Dedi mengatakan langkah polisi menangkap atau mengamankan dan mengambil identitas pengunjuk rasa adalah teror psikologis yang dilakukan Polri terhadap warga. "Itu sangat berbahaya, karena itu sama dengan praktek pembungkaman, itu strategi yang selalu dipraktikkan Polri," kata Dedi.
Terkait dengan aksi pelemparan yang dilakukan pengunjuk rasa Dedi mengatakan bahwa apa yang dilakukan mahasiswa bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Bisa jadi itu terjadi karena respon aparat berlebihan terhadap massa aksi.
Sementara itu Kapolres Palu AKBP Ahmad Ramadhan membantah jika polisi dituding melakukan tindakan represif karena penanganan unjuk rasa sudah sesuai prosedur.
Ramadhan mengatakan, dalam penanganan unjuk rasa polisi telah melakukan tahapan penanganan, misalnya dengan menempatkan polisi wanita di barisan depan. Namun karena desakan dari pengujuk rasa kian kuat, petugas kemudian memasang polisi yang menggunakan tongkat. "Begitu situasi berubah dimana polisi dilempar, kami majukan pasukan tameng. Tidak mungkin anggota kami dibiarkan tanpa pelindung," kata Ramadhan.
Namun Ramadhan mengakui tidak menutup kemungkinan ada oknum polisi yang bertindak represif.