Ahad 01 Apr 2012 18:45 WIB

Kritik Film Pun Bisa Lewat Puisi

Rep: Iman Purnama Kadar, palupi annisa auliani / Red: M Irwan Ariefyanto
forum film bandung
Foto: antara
forum film bandung

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Kalau biasanya mengkritik film melalui tulisan dan analisa, kali ini sejumlah penyair melakukannya melalui puisi. Di Bandung, 25 penyair dan seniman membacakan puisi tentang film dalam ulang tahun ke 25 Festival Film Bandung (FFB). Pembacaan puisi ini dilakukan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Ahad (1/4).

''Jadi aku juga akan bikin film tentang setan. Jangan dipikir setan tidak punya sisi baik. Kalau setan kelakuannya buruk, jahat, itu memang sudah semestinya. Namanya juga setan. Tapi kalau ada manusia yang kelakuannya seperti setan, nah! Itu yang harus digorok, apalagi kalau dia pejabat,'' ujar dramawan sekaligus penyair, Putu Wijaya, saat bermonolog di atas panggung.

Dia menyindir film Indonesia yang sebagian besar hanya berisi film horor murahan. Dalam monolognya, Putu juga menyiratkan pesan agar pencipta film memperhatikan kualitas film yang dibuatnya. Dia juga membacakan puisi berjudul 'Kebangkitan'. Isinya? tentang kenangan dalam sebuah film tua.

''Menembus waktu dengan menunggang sebuah film tua, adalah danau yang lebih biru dari lautan, di situ angin berisik di atas pelana kuda yang sudah lama dijanjikan serta bulan yang dapat dibelai,'' ujar Putu, berpuisi.

Ulang tahun ke 25 FFB ini memang mengambil tema film dan puisi. Ketua Umum FFB, Eddy D Iskandar menyebutkan, banyak film yang memasukkan puisi di dalamnya. Salah satunya film Cintaku Jauh di Pulau yang disadur dari novel Motinggo Boesye Di sana, puisi Chairil Anwar dengan judul yang sama dimasukkan ke dalam cerita.

Mengenai acara ini sendiri, Menurut Eddy, ''Apa yang mereka ungkapkan di sini adalah kemarahan, kekhawatiran, kerindungan, renungan, yang berujung pada sikap optimis;. Intinya semua mendambakan film Indonesia bicara tentang orang Indonesia,'' kata Eddy, lagi-lagi mengkritik.

Selain Putu Wijaya, ada pula aktor senior Slamet Rahardjo yang ikut serta membacakan puisi. Judulnya 'Dendang Perawan'. ''Dan lagi apa salahnya, semua ini kan cuma tontonan. Tontonan memang bukan tuntutan, tak perduli seribu bocah kesurupan. Bukankah itu memang tugas siluman,''kata Slamet berpuisi.

Kemudian puisi itu ditutup dengan kalimat, ''Duh Gusti amukti jagad, jangan biarkan kami hilang derajat,?'' tutur Slamet dengan raut muka sedih.

Selain Putu Wijaya dan Slamet Rahardjo, tampil pula Iman Soleh, Arthur S. Nalan, Soni Farid Maulana. Sama seperti Putu dan Slamet, mereka mengkritik film Indonesia lewat puisi-puisinya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement