REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Ikhwanul Muslimin mengatakan hari Kamis bahwa tidak ada referendum sama sekali terhadap perjanjian perdamaian di negara itu dengan Israel. "Kami menghormati kewajiban internasional, titik," kata Abdul Mawgoud Dardery, seorang anggota parlemen dari Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP) kepada The Washington Times.
Ikhwan telah berupaya untuk melunakkan citra di Barat dan juga sedang mempersiapkan diri untuk mengggalang kekuatan yang lebih besar pasca revolusi Mesir. "Tidak ada referendum sama sekali tentang kewajiban internasional," katanya. "Semua perjanjian internasional dihormati oleh Partai Kebebasan dan Keadilan, termasuk (perjanjian) Camp David."
Ikhwanul selama ini dikenal kerap melontarkan pernyataan keras atas Israel. Tidak hanya itu kelompok ini juga pernah mengalami gesekan dengan AS menyusul pernyataannya yang menyebutkan, perjanjian damai antara Mesir-Israel terancam gagal jika AS terus mengintervensi Kairo atas kasus penahanan aktivis AS yang ditahan Mesir.
Menurut pakar Timur Tengah di Endowment, Marina Ottaway, sampai rezim Mubarak tumbang, AS memiliki kebijakan tidak berhubungan dengan Ikhwanul Muslimin karena Pemerintah Mesir melarangny. Namun sekarang, AS mulai membuka dialog dengan Ikhwan. Kini, pengakuan di seluruh jajaran pejabat AS terhadap Ikhwanul Muslimin menjadi satu kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah.
Selaman beberapa dekade, keberadaan kelompok Ikhwanul Muslim dilarang oleh pemerintah Mesir di bawah rezim Husni Mubarak. Namun setelah Mubarak digulingkan kelompok ini dengan cepat meraih simpati publik dan berhasil memenangkan pemilu bersejarah Mesir.
Sebelumnya sayap politik Partai Kebebasan dan Keadilan Ikhwanul Muslimin, resmi mengusung Khairat Al Shater sebagai calon presiden dalam Pemilu Presiden Mesir pada 23 Mei 2012 mendatang.