REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pakar Ekonomi dari Universitas Andalas Prof Syafruddin Karimi menilai bahwa aksi penghematan energi oleh pemerintah belum mendapat dukungan dari elite politik.
"Sikap demikian muncul akibat elite politik di tanah air belum menyadari potensi krisis energi dan air yang bakal dihadapi. Mereka hanya berpikir menyesuaikan harga BBM ketika ada ancaman eksternal kenaikan harga minyak internasional," kata Syafruddin Karimi di Padang, Jumat.
Penilaian tersebut disampaikannya terkait Inpres No. 2 tahun 2008 mengatur tentang penghematan energi dan air di lembaga pemerintahan. Pemerintah telah membentuk Tim Nasional Penghematan Energi dan Air yang bertugas membuat gugus tugas untuk mengevaluasi pelaksanaannya.
Menurut dia, pada saat yang sama elit politik baru pula memikirkan redistribusi buat lapisan rakyat kurang beruntung. Lalu mengapa tidak berpikir ketika tidak ada ancaman?
Ia mengatakan, elite politik di negeri ini sudah saatnya sensitif dengan kebutuhan rakyat yang luas bagi kekuatan bangsa. "Sudah saatnya mereka berpikir jauh ke depan dengan segera merespons ancaman potensial yang dihadapi bangsa ini," katanya.
Karena itu, komitmen menghemat energi dan air adalah keharusan mutlak, namun harus menjadi komitmen yang tidak boleh lepas dari komitmen menghemat dan menyelamatkan kekayaan bangsa secara menyeluruh dan komprehensif
Sekaitan dengan itu pula, komitmen menghemat subsidi harus sejalan dengan komitmen menyelamatkan kekayaan negara dari ancaman para koruptor dan pengemplang pajak.
"Bila keduanya kelihatan timpang dimana keinginan menghemat subsidi kuat, sementara komitmen menyelematkan kekayaan negara dari ancaman para koruptor dan penggelap pajak terlihat longgar, potensi ketidakstabilan ekonomi dan politik akan mudah dieliminasi," katanya.
Sebab itu, katanya lagi, ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan, sesuatu yang benar secara ekonomi tidak bisa jalan tanpa dukungan sesuatu yang benar secara politik.
Sementara itu, penghematan energi dan air adalah benar secara kalkulasi ekonomi. Itu relevan dan sebuah keharusan mutlak. Tetapi secara politik itu masih belum benar. Naifnya memang, Inpres No.2 tahun 2008 masih dominan relevansi ekonomi yang bersifat parsial, tetapi tidak mendapat tempat dari budaya politik elite bangsa ini.