REPUBLIKA.CO.ID,LOS ANGELES -- Tepat tanggal 30 Maret 2012, film berjudul Bully yang menuai banyak kontroversi tayang perdana untuk pasar Amerika Serikat. Film yang awalnya berjudul The Bully Project ini adalah film dokumenter yang mengungkap kekerasan bullying yang terjadi di sekolah-sekolah di AS.
Disutradarai oleh Lee Hirsch, pembuatan film ini mengikuti kehidupan sehari- hari lima siswa yang biasa menjadi korban bullying di sekolah. Bully sebenarnya pertama kali ditayangkan pada Festival Film Tribeca 2011, sebuah festival film yang didedikasikan buat kawasan TriBeCa, Manhattan, seusai kejadian 9/11.
Film ini juga telah diputar pada Hot Docs, festival film dokumenter Kanada, serta Festival Film LA yang keduanya digelar pada 2011. Di Italia, film ini diputar pa da Festival Film Ischia, musim panas tahun lalu. Namun, film ini baru dirilis ke bioskop-bioskop di AS pada akhir Maret ini.
Para siswa yang kehidupannya dijadikan film ini berasal dari Georgia, Iowa, Texas, Mississippi, dan Oklahoma, serta dibuat selama tahun ajaran 2009 dan 2010. Tak cuma membuntuti para siswa, tapi proses pembuatan film ini juga mengikuti anggota keluarga mereka.
Film ini secara khusus difokuskan pada kematian Tyler Long dan Ty Smalley, korban bullying yang akhir nya melakukan bunuh diri. Hirsch sendiri adalah korban bullying saat masih sekolah dan ia bertekad untuk membuat film soal itu sejak lama. Menurut dia, para korban bullying tidak seharusnya cuma diam.
Ia kemudian mendekati se buah lembaga nirlaba Frac tured Atlas yang akhir nya setuju membiayai sebagian film ini. Sebagian biaya film ini juga ditanggung oleh Sundance Institute Documentary Fund dan beberapa institusi lainnya. Sementara, penata musik di serahkan pada Michael Furjanic, mantan personel band Force Theory, dan band indie Bishop Allen.
“Menurut saya, bagian ter sulit menjadi korban bullying adalah membicarakan soal itu,” ungkap Hirsch pada sebuah wawancara. Selain itu, meminta pertolongan orang lain saat kejadian ini menimpanya dahulu juga tak mudah. Orang-orang yang di mintai tolong, lanjut Hirsch, akan bilang padanya untuk melupakan itu dan jangan menjadi cengeng.
Hal yang sama juga terjadi saat ia meminta pertolongan orang tuanya. Entah karena tak mengerti apa yang dialami anaknya di sekolah, orangtua Hirsch saat itu tidak mengambil tindakan apa-apa. Untuk itu, ia berharap, film ini dapat mendorong para orang tua, guru, dan siswa untuk tidak menutup mata bahwa bullying masih terjadi di sekolah-sekolah. “Saya harap, film ini dapat menyelamatkan hidup anak-anak yang menjadi korban,” tuturnya.
Kontroversi
Karena berbagai bahasa kasar dan kata makian yang terdapat pada film ini, MPAA (Motion Pictures Association of America) memutuskan untuk melabeli film ini rating R yang berarti restricted atau terbatas. Akibatnya, penonton berusia di bawah 17 tahun tidak dapat menyaksikan film ini. Dampaknya pula, film ini tak dapat di putar di sekolah-sekolah di AS. Padahal, para siswa dan lingkungan sekolah adalah target sasaran film ini selain para orang tua mereka. Seorang warga Michigan, Katy Butler, kemudian menggagas inisiatif dan petisi online melalui laman Change.org agar MPAA merevisi kategori untuk film ini.
Hanya dalam waktu dua pekan, Butler sudah berhasil mengumpulkan 300 ribu tanda tangan. Namun, MPAA bersikukuh tak mau mengubah penilaiannya. Joan Graves yang mewakili MPAA me nga takan, ini film yang bagus, namun mereka tetap berkewajiban memberikan penilaian sesuai kontennya. Baru awal pekan ini, distributor film ini menyatakan akan merilis Bully tanpa rating sebagai protes atas keputusan MPAA.