Senin 09 Apr 2012 14:45 WIB

Mohamed Zakariya: Seni Kaligrafi Mengantarkannya pada Agama Islam

Rep: Shally Pristine/ Red: Heri Ruslan
Mohamed Zakariya
Foto: nlm.nih.gov
Mohamed Zakariya

REPUBLIKA.CO.ID,  Suatu hari, di bulan Ramadhan,  Pelabuhan Casablanca, Maroko riuh  dengan aktivitas pelayaran. Ada kapal yang melepas sauh, sebagian lain merapat. Sebuah kapal barang yang sudah uzur berbendera Yugoslavia  baru tiba di Casablanca setelah berlayar dari Amerika Serikat (AS).

Dalam kapal itulah Mohamed Zakariya  -- yang kelak menjadi salah satu kaligrafer ternama  di dunia --   memulai perjalanannya mencari arti hidup yang hakiki.  Begitu menapakkan kakinya di negeri Maghribi itu, Zakariya yang waktu itu baru berusia 19 tahun, langsung tersirap atmosfer Ramadhan.

Begitu tiba di Maroko, ia melihat seorang lelaki tua berjubah dengan sorban kuning cerah sedang melintas di pelabuhan. ‘’ Seketika, Anda akan merasakan bahwa di sana semuanya sangat berbeda,’’ ujar Zakariya kepada sebuah majalah terbitan AS, beberapa waktu lalu.

Pria kulit putih kelahiran Ventura, California  69 tahun lalu itu lantas mengikuti lelaki berjubah tersebut. Ternyata, lelaki berjubah itu menuju sebuah masjid untuk berbuka puasa. Betapa kecewanya Zakariya ketika ia tak bisa ikut masuk karena bukan Muslim.

Ia akhirnya  menghabiskan malam berbincang soal Islam dengan seorang Yahudi di sebuah kedai kopi. Dia merasa bahagia karena menemukan mereka yang sepaham dalam memaknai hidup di atas anasir materi. Zakariya tak bisa memungkiri bahwa  ia berangkat  ke Maroko  dengan hati yang gamang.

                                                           

                                                                         ***

 

Saat kecil Zakariya tumbuh dalam asuhan kerabatnya. Ayahnya dipanggil membela negara pada Perang Dunia II, sedangkan ibunya menderita tuberculosis. Setelah perang berakhir, ayahnya mendapat pekerjaan sebagai sutradara di Hollywood. Ekonomi keluarga Zakariya pun berangsur membaik dan mereka mendapat posisi yang terhormat di masyarakat.

Seharusnya, Zakariya bisa menjalani hidup seperti remaja kebanyakan. Ia justru merasa muak dengan lingkungan sekitarnya yang penuh kepalsuan. Sebagai pelarian, dia memilih nongkrong di jalanan Los Angeles bersama kelompok pengamen nyentrik. Di sekolah, dia bergabung dengan geng berandalan.  Suatu kali, dia pernah mematahkan gigi teman sekelasnya dengan rantai.

‘’Saya diusir dari kelas setelah kejadian itu. Sekali pernah melakukan hal itu, rasanya diri ini menjijikkan,’’ tutur Zakariya mengenang. Ketika berulan tahun ke-18, Zakariya pergi dari rumah dan tinggal di sebuah bengkel dekat Malibu. Dia mendapat pekerjaan di pabrik komponen pesawat terbang.

Awalnya, ia menyukai sesutu yang baru, tak lama kemudian rasa bosan membelenggunya. Zakariya muda pun menjadi pecandu minuman keras. Di tengah kebosanannya, dia merasa butuh petualangan. Seorang agen perjalanan menyarankannya agar melancong ke Maroko. Terlebih, saat itu  ada kapal barang Yugoslavia yang bersedia mengantar dengan biaya 50 dolar AS saja. 

                                                                          ***

Perjalanan pulang dari Casablanca ke New York juga menggoreskan kesan mendalam bagi Zakariya. Kapal barang yang sudah tua itu terjebak badai di perairan Atlantik. Ombak tinggi menghantam dan mesin kapal rusak. Zakariya dan para anak buah kapal terombang-ambing di laut selama beberapa hari.

Kapal yang mesinnya  bermasalah itu akhirnya berhasil sampai di pelabuhan New York.  Ketika kembali ke California, Zakariya menyadari bahwa gaya hidup mabuk-mabukan dan pergaulan bebas yang dia jalaninya di Malibu tak bisa memenuhi kebutuhan batinnya.

Di satu sisi, ia a memang berhasil melepaskan diri dari kehidupan penuh kepalsuan milik orangtuanya. Di sisi lain,  dia malah terjebak ke dalam situasi yang lebih tak dia sukai. Dia ingin mendobrak situasi saat itu, terlebih perjalanannya ke Maroko telah membuka matanya terhadap Islam.

Beberapa pekan kemudian, Zakariya kembali teringat dengan keindahan Islam. Ketika tengah berjalan-jalan di bulevar Wilshire, Malibu, pandangannya tertumbuk ke selembar karpet Persia bermotif kaligrafi. Sayang, harganya terlalu mahal.

Zakariya membatin, "Kalau tidak bisa membeli barang indah itu, saya akan membuatnya sendiri." Kemudian dia menemukan buku panduan belajar bahasa Arab dan membeli Alquran salinan tangan dari abad ke-19. Ia puna mulai belajar kaligrafi secara otodidak.

Awalnya, dia mencoba mengerti arti teks yang diukir lewat Alquran yang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Lambat laun, dia sudah menguasai bahasa Arab. Karena itu, dengan menjadi kaligrafer secara tidak langsung dia juga mempelajari isi Alquran.

Perlahan-lahan, pandangannya mengenai agama yang palsu dan sekadar puja-puji pun berubah. Dia yakin Alquran bisa menjadikannya manusia yang lebih baik.

Ketika diasuh kerabatnya sewaktu kecil, Zakariya kerap diantar tidur dengan bacaan ayat dari Perjanjian Lama. Itulah identitasnya yang pertama. Kemudian, kehidupan glamor ala Hollywood yang dijalaninya bersama keluarganya adalah identitasnya yang kedua. Masa membujang di Malibu menjadi identitasnya yang lain lagi.

‘’Saya pernah menjadi pribadi yang artifisial. Islam mengupas lapisan-lapisan palsu itu dari jiwa saya,’’ paparnya. Zakariya pun bertekad untuk kembali lagi ke Maroko sebagai seorang Muslim.

                                                                            ***

Zakariya pun menjadi seorang Muslim. Ia mengucap syahadat di satu-satunya masjid yang ada di Los Angeles waktu itu. Butuh tiga jam perjalanan baginya untuk sampai ke masjid itu. Begitu dia menunaikan rukun Islam pertama itu, seorang saksi menyarankannya untuk menggunakan nama Rasulullah sebagai tanda hijrah.

Tiga tahun kemudian, dia menggenapi janjinya kepada diri sendiri untuk kembali menapaki Maroko ketika sudah memeluk Islam. Awal 1970-an, Zakariya hijrah ke Arlington, Virginia dan berkeluarga. Dia mulai memamerkan karyanya dan mendapat sambutan baik.

Semakin Zakariya tenggelam dalam kerja seninya, ikatannya dengan Yang Maha Memiliki Keindahan pun menguat. Dia bersyukur atas hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya, termasuk penerimaan keluarga atas keislamannya. Di detik-detik terakhirnya, sang ibu mengerti akan kekuatan agama bagi Zakariya.

Bagi  seorang Zakariya, kehidupan berislam di AS telah banyak berubah dibandingkan ketika dia baru menjadi mualaf. Sekarang, dia merasa agama kerap dijadikan alat politik dan hal itu membuatnya tak senang. Namun, komitmen Zakariya terhadap Islam tidak berubah.

Dia tetap mendalami kaligrafi,  karena  merasa dekat dengan Allah ketika tengah melakoni kerjanya. "Kekuatan-Nya terus menggerakkan saya dari dalam," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement