REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Asvi Marwan Adam, mengatakan, Pasal 57 huruf c dan d UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang mengatur larangan penggunaan lambang negara harus dicabut.
"Pasal 57 huruf c dan d ini diterapkan akan banyak orang dan lembaga yang jadi korban dan dipidanakan. MK pun bisa digugat karena menjual gantungan kunci dengan lambang garuda," kata Asvi, saat sidang Pengujian UU Lambang Negara di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu.
Menurut Asvi, penggunaan lambang negara tersebut bisa membangkitkan kebanggaan terhadap negara. "Janganlah orang atau kelompok dijebak penggunaan lambang negara. Masyarakat Indonesia diwajibkan untuk menjaga menggunakan lambang negara, tapi pas memakai malah dihukum," kata Asvi, saat menjawab beberapa pertanyaan dari majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD.
Ahli sejarawan dari LIPI yang didatangkan oleh pemohon ini mencontohkan kasus tim nasional PSSI yang dilaporkan oleh Pengacara David Tobing karena terdapat gambar "Garuda di Dadaku".
"UU ini terdapat kelemahan yang membahayakan masyarakat. Contoh pertandingan Timnas (PSSI) dengan Malaysia, apakah Timnas sudah menyalahi hukum, menggunakan lambang negara? Ini bahayakan semua pihak, baik pemain maupun suporter," jelasnya.
Asvi juga mengungkapkan bahwa pemakaian lambang garuda bermanfaat karena menunjukkan kecintaan terhadap negara. "Tapi kok disini malah dilarang, ini kan lambang yang harus disosialisasikan. Ada pasal pemakaian diluar aturan UU ditindak pidana sangat membahayakan masyarakat. Menurut hemat saya, ini merupakan kriminalisasi," katanya.
Asvi yang juga dosen sejarah di UI ini mengatakan bahwa pencantuman ketentuan pelarangan penggunaan lambang negara dalam UU nomor 24 tahun 2009 ini selalu mempunyai potensi untuk merugikan masyarakat untuk dapat hukuman.
Seperti diketahui, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Ryan Muhammad (mahasiswa), Bervilia Sari (pemerhati hukum), Erwin Agustian, dan Eko Santoso yang bergabung dalam Koalisi Gerakan Bebaskan Garuda Pancasila menguji Pasal 57 huruf c dan d UU No 24 Tahun 2009 yang mengatur larangan penggunaan lambang negara.
Pasal 57 huruf c dan d menyebutkan setiap orang dilarang, c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara, d. menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam undang-undang ini.
Pemohon menilai pemberlakuan Pasal 57 huruf c dan d justru membuat Pancasila kaku dan jauh dari pemahaman masyarakat. Secara psikologis masyarakat biasa menggunakan simbol/lambang negara, seperti Garuda Pancasila atau Merah Putih sebagai bentuk kecintaan dan kebanggaan masyarakat terhadap tanah air. Sebab, simbol lambang negara merupakan wujud grafis dari karakter suatu negara.
Pemohon juga menyebut bahwa Pasal 57 huruf c, d bersifat represif karena lebih berpotensi menghukum masyarakat daripada melindungi masyarakat. Pemohon juga menyebut telah menjadi korban, yakni Erwin Agustian dan Eko Santoso yang telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Purwakarta karena menggunakan cap stempel lambang garuda dalam organisasinya.
Karena itu, pemohon meminta Mahkamah membatalkan Pasal 57 huruf c, d UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Menyatakan Pasal 57 huruf c,d itu bertentangan Pasal 28C ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.