REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang pengambilan keputusan tahap II di paripurna DPR, sembilan fraksi belum juga mencapai kata sepakat mengenai empat isu krusial dalam RUU Pemilu. Perdebatan, khususnya terkait metode penghitungan suara menjadi kursi. DPR belum mencapai kesepakatan apakah akan menggunakan sistem kuota murni atau divisor Webster.
Di pihak lain, lobi pimpinan DPR dan fraksi sudah menyepakati tiga isu lainnya, yaitu ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) di angka 3,5 persen, alokasi kursi per daerah pemilihan (dapil) 3-10 untuk DPR dan 3-12 untuk DPRD, dan sistem pemilu proporsional terbuka.
Awalnya, PT dianggap paling mengancam keberlangsungan partai politik, khususnya yang memiliki suara kecil. Namun, ternyata yang dipermasalahkan oleh partai hingga menit-menit akhir justru metode konversi suara.
''Bagi PPP, konversi suara dan alokasi kursi itu yang paling bahaya. Lebih bahaya dari PT,'' kata Sekjen PPP, M Romahurmuziy (Romi), di gedung DPR, Jakarta, Rabu (11/4). Saat ini, metode divisor Webster diusung oleh Partai Golkar, Partai Keadilan Keadilan Sejahtera (PKS), dan PDI Perjuangan. Sisanya, sudah sepakat untuk menggunakan mekanisme kuota murni.
Menurut Romi, mekanisme Webster lebih membunuh partai kecil ketimbang PT. Alasannya, jika menggunakan metode ini jumlah pengurangan kursi partai kecil jauh lebih besar. ''Dengan data 2009 kalau pakai Webster kita hanya hilang satu kursi. Tidak terlalu berpengauh. Tapi buat partai lain bisa mematikan. Hanura yang sekarang dapat 17 kursi itu bisa tidak dapat kursi sama sekali dia,'' papar dia.
Karenanya, lanjut dia, kalau harus memilih, maka PPP akan condong untuk menaikan PT ke angka empat persen ketimbang harus menggunakan metode Webster. Ini sesuai dengan tawaran Golkar yang menurutnya mau pakai kuota murni jika PT empat persen.