REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penahanan pemimpin komunitas Syiah Sampang Madura, Haji Ali Murtadho, atau yang biasa dikenal Ustadz Tajul Muluk oleh Kejaksaan Negeri Sampang, bulan lalu menuai protes.
Kontras Surabaya berpendapat bahwa penahanan tersebut adalah bentuk kegagalan pemerintah dalam menjamin kemerdekaan hak beragama. Selain itu, juga dalam jaminan perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Pasalnya, penahanan yang dilakukan setelah penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur menjerat Ustadz Tajul atas perbuatan tindak pidana penodaan agama. "Ini bukti pemerintah tidak bisa menjamin perlindungan," tulis Kontras dalam rilis yang diterima Republika, Jumat (13/4).
Menurut Kordinator Kontras Surabaya, Andy Irfan, Ustadz Tajul seharusnya menjadi korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan pemulihan hak-hak yang telah dihilangkan. Sebab, Ustadz Tajul merupakan korban yang rumahnya dibakar pada 30 Desember tahun lalu.
Andy mengatakan, berdasarkan investigasi yang dilakukan, pihaknya mencatat terdapat serangkaian pelanggaran kebebasan hak beragama yang dialami komunitas minoritas tersebut. Menurut dia, eskalasi konflik yang bermuara pada tragedi pembakaran menjadi alat bukti kelalaian pemerintah dalam menangani konflik.
Selain itu, dalam catatan yang sama, pasca pengusiran dari Madura, keluarga Tajul Muluk harus kehilangan mata pencahariannya. Bahkan, intimidasi dan harus terpisahkan dari dari jamaahnya juga harus dialami Ustadz Tajul. "Tak habis sampai di sana, korban bahkan dikriminalkan dan dipenjarakan," kata Andy.
Karena itu, Kontras Surabaya mendesak kejaksaan untuk membebaskan Tajul Muluk dan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan. Tak hanya itu, pihaknya juga mendesak Propam Mabes Polri untuk memeriksa penyidik Kepolisian Daerah Jatim.