REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sikap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) atas beredarnya Lembar Kegiatan Siswa (LKS) 'istri simpanan' sangat disayangkan.
Sebab, pemerintah terkesan 'lempar tanggungjawab' dalam persoalan ini. “Kemdikbud mengaku penerbitan LKS ini di luar kendali pemerintah pusat,” ungkap Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno, kepada wartawan di kantor Indonesian Corruption Watch (ICW), Jumat (13/4).
Menurut Retno ada beberapa alasan terkait dengan sikap FSGI ini. Pertama buku- buku Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta (PLBJ) –yang belakangan ketahuan memuat cerita 'istri simpanan' ini disusun berdasarkan ketentuan pemerintah.
Baik penulis maupun penerbit buku pelajaran harus merujuk pada Standar Kompetensi (SK) Kompetensi Dasar (KD) yang disusun pemerintah. Ada pedoman dalam penulisan buku LKS yang diedarkan sebagai pendukung proses belajar kelas satu di sekolah-sekolah ini.
Pedoman ini tentu dikeluarkan oleh Kemendiknas yang ketentuannya harus memenuhi beberapa hal. Antara lain teks ditulis dalam huruf kecil tanpa tanda baca, ukuran huruf minimal 15 pt, buku harus berwarna serta untuk mempermudah pemahaman harus dibantu dengan gambar.
"Ketentuan ini, tentunya tidak berlaku untuk penyusunan buku-buku bagi murid kelas IV ke atas. Karena konten buku ini juga harus disesuaikan dengan kemampuan murid dalam menerima materi ajar,” tambah Retno.
Namun, isi dari buku LKS yang heboh di tengah masyarakat Jakarta kali ini cukup kontradiktif dengan ketentuan ini. “Dari fakta ini jelas pemerintah—dalam hal ini Kemdikbud—tidak bisa 'cuci tangan' atas peredaran buku LKS ini,” tegas Retno.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh sebelumnya menegaskan jika peredaran buku LKS tidak berada di bawah kendali Kemendikbud. Melainkan diadakan sendiri oleh pihak penyelenggara pendidikan (sekolah). “Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemdikbud hanya bertugas mengevaluasi setiap buku teks pelajaran dan buku non teks pelajaran untuk kemudian direkomendasikan kepada pihak sekolah,” ungkapnya.
Namun, Nuh mengakui kasus peredaran buku ini menjadi perhatian Kemdikbud. Karena isi dari penerbitan buku ini yang memang belum pantas untuk diberikan kepada para peserta didik kelas I dan II.