REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Pergerakan harga minyak mentah dunia diprediksi akan melanjutkan tren penurunan dengan melemah pada area 102 dolar AS per barel.
Research & Analysis Division PT Monex Investindo Futures Ariana Nur Akbar dalam risetnya, Senin (16/4), mengatakan, tren penurunan ini seiring dengan potensi tingkat pertumbuhan dua ekonomi besar, yaitu Cina dan Amerika Serikat, masih diragukan untuk melanjutkan penguatannya. "Selain itu, hal ini juga dihambat oleh ketegangan antara Iran dan negara-negara Barat yang terus berlanjut terkait program nuklir yang dikembangkan Iran," ujar Ariana.
Menurut Ariana, data ekonomi dari Cina dan AS membuat harga minyak mendapatkan potret yang suram dalam basis hariannya, bahkan mungkin dalam perkiraan mingguannya.
Masalah lelang obligasi di Eropa yang masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan juga memberikan kontribusi terhadap lemahnya harga minyak mentah saat ini. "Tingkat pertumbuhan dunia yang melambat dan pemulihan perekonomian global membuat para investor menahan diri," katanya.
Di samping itu, Federal Reserve juga masih melakukan proses tarik ulur adanya pelonggaran kebijakan atau biasa disebut QE3. Ketidakjelasan sikap bank sentral AS ini akan memicu pesimisme bahwa kebijakan moneter ini masih jauh dari kenyataan.
Untuk pergerakan turunnya, ujar Ariana, kisaran support harga minyak mentah akan berada pada level 101,82 dolar AS hingga 101,47 dolar AS per barel. "Sedangkan untuk pergerakan naiknya, kisaran 'resistance' akan berada pada area 102,81 dolar AS dan 103.06 dolar AS per barel," katanya.