REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Nasib pemilu presiden Mesir terombang-ambing Upaya banding tiga kandidat atas pengguguran pencalonannya oleh Komisi Pemilihan Umum terbentur tembok. Mereka ialah kepala intelijen era Hosni Mubarak, Oman Suleiman, kandidat Ikhwanul Muslimin Khairat al-Shater, dan ulama populer Salafi, Abu Ismail.
Pengusaha kaya sekaligus deputi pemimpin Ikhwanul, Khairat al-Shater, Selasa, 17 April didiskualifikasi karena adanya catatan kriminal. Rekaman itu terjadi pada kekuasaan mantan presiden Hosni Mubarak ketika kelompok itu dilarang.
Untuk mengganti posisi Khairat, Ikhwanul menempatkan Mohamed Mursi, kepala politik partai yang sudah berjaga-jaga dengan berkas pencalonan seandainya Shater didiskualifikasi, yang ternyata terbukti.
"Kelompok dan partai mengumumkan, mereka melanjutkan kompetisi untuk posisi kepala negara dengan kandidat Dr. Mohamed Mursi," demikian pernyataan Ikhwanul Muslimin.
Kharisma Mursi masih di bawah Shater, tapi ia dianggap lebih berpengalaman dalam politik. Pakar rekayasa teknologi itu menjadi anggota parlemen blok Ikhwanul dalam beberapa tahun terakhir kekuasaan Mubarak.
Tak semua kandidat yang dicoret diam. Abu Ismail, dari ultrakonservatif--meski satu-satunya--yang menyeru melanjutkan penentangan terhadap keputusan Komisi. Dia mengecam pengaruh Amerika, tetapi didiskualifikasi karena ibunya menjadi warga negara Amerika.
Abu Ismail dan ratusan pendukungnya menggelar aksi duduk hingga Selasa malam waktu Kairo di luar markas Komisi Pemilihan Umum. Para ulama menyeru ketenangan. "Mereka memutuskan mengakhiri aksi duduk-duduk dan menyiapkan rencana untuk pengerahan sejuta massa pada Jumat nanti," kata Gamal Saber, Kepala Kampanye Abu Ismail, Rabu 18 April. "Kami sedang menuju suatu revolusi kedua."