REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy/Wartawan Olahraga Republika
Sore mulai menyingsing di langit kota Surakarta. Tepat di jantung kota yang berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa, sebuah stadion tua masih gagah berdiri. Sore itu lapangan yang terletak di tengah rindang kota Solo, tampak sepi tidak berpenghuni. Becak yang berlalu lalang di seputaran stadion seakan menyapa lapangan bersejarah yang kini berubah nama menjadi Stadion R Maladi.
Sekitar delapan dekade yang lalu, atau tepatnya Oktober 1933, lapangan itu pertama kali berdiri di atas permukaan bumi nusantara dengan nama Stadion Sriwedari. Sriwedari adalah buah pemikiran besar sepak bola nasional yang tercetus pada 19 April 1930.
Pemikiran yang terlontar dari seorang tokoh bernama Ir Soeratin Sosrosoegondo yang ingin sepak bola Indonesia menjadi alat perjuangan bangsa. Walau berganti nama seiring dengan masa perjuangannya, pemikiran Soeratin itu kemudian diwujudkan dengan sebuah organisasi bernama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI)!
Sriwedari tidak sekedar Stadion, namun merupakan merupakan alat PSSI untuk menempuh harapan dan cita-citanya. Cita-cita yang saat itu hanya mengrucut pada satu tujuan; kemerdekaan Indonesia!
Sriwedari memang jauh dari kesan megah layaknya Stadion Wembley yang saat itu menjadi situs sepak bola termasyur di muka bumi. Namun dengan kesederhanaannya, Sriwedari mulai menopang harapan dan mimpi PSSI.
Harapan itu langsung berbuah nyata di tahun 1938 saat nusantara yang masih memakai nama Hindia Belanda tampil di pentas Piala Dunia Prancis. Inilah momentum deklarasi kepada dunia bahwa di bagian Timur Samudra Hindia ada sebuah bakat besar yang masih terisolasi oleh kolonialisme Belanda.
Walau dalam kondisi terjajah, anak-anak nusantara saat itu masih mampu memperlihatkan kepada dunia bahwa bangsa ini punya kedaulatan di lapangan sepak bola. Dan Sriwedari pun jadi awal kelahiran bakat-bakat sepak bola Hindia Belanda itu yang jadi pilar utama sepak bola nusantara di lapangan dunia.
Prestasi sebagai bangsa Asia pertama yang merumput di Piala Dunia itu pun berdampak cita cita awal PSSI untuk meraih kemerdekaan. Tepat 15 Tahun setelah PSSI berdiri, Indoenesia meraih kemerdekaannya!
Penggalan kisah yang bermula dari Sriwedari itu jadi warisan kisah gemilang PSSI. Sriwedari memberi secarik kabar bahwa bahwa bangsa ini pernah memiliki sebuah organisasi sepak bola yang sukses meraih prestasi dan cita-cita.
Sriwedari pun menua dengan kisah kegemilangannya. Situs harapan sepak bola Indonesia mulai berganti seiring dengan lahirnya Stadion Gelora Bung Karno di jantung ibu kota Jakarta pada tahun 1960-an.
Gelora Bung Karno yang sempat diubah namanya menjadi stadion Senayan di masa orde baru, jadi kebanggaan baru bagi PSSI. Inilah salah satu lapangan sepak bola yang terbaik di Asia maupun dunia di masanya. Di sinilah ratusan ribu mata masyarakat Indonesia menjadi saksi hidup Indonesia meraih pretasi pertama di dunia sepak bola yakni emas Sea Games 1987. Sebuah pretasi yang hingga kini menjadi capaian terbaik PSSI di samping emas Sea Games Manila empat tahun berselang.
Namun di usia perjalanan sepak bola yang tepat menginjak umur ke 82 tahun para 19 April 2012, “rumput” di stadion kebangsaan itu kini tenoda oleh polemik PSSI. Organisasi yang didirikan demi persatuan berubah jadi ajang permusuhan.
Lebih parahnya, PSSI untuk pertama kalinya terpecah dengan kemunculan PSSI versi KPSI pada 18 Maret 2012. Suatu kondisi yang bertolak belakang dengan pemikiran Soeratin yang kini telah bersemayam di TPU Sinaraga, Bandung,.
Tidak hanya polemik organisasi, di usainya ke 82, prestasi sepak bola Indonesia justru terjun bebas di lapangan sepak bola dunia. Kesebelasan Indonesia kini tidak dikenal lagi sebagai macan Asia, melainkan negara yang mencatat rekor kekalahan terburuk di babak kualifikasi ketiga Piala Dunia 2014. Kekalahan 0-10 dari Bahrain, jadi klimaks keterpurukan prestasi PSSI.
Krisis prestasi dan oranisasi inilah yang membuat atmosfer di Gelora Bung Karno meredup. Sanjungan kepada sepak bola Indonesia, kini berganti cacian yang dialamatkan pada PSSI maupun KPSI.
Rakyat sudah bosan oleh aksi pertikian pengurus berebut kursi organisasi yang tidak mengenal kata akhir. Yang masyarakat inginkan pada PSSI di usianya ke 82 tahun hanyalah sepak bola indah di atas lapangan, sepak bola yang tidak kenal kata menyerah untuk merebut kemenangan. Bukan justru sepak bola yang mengedepankan cerita para pengurus, dibanding pemainnya.
Di tengah kekacuan yang melanda itu, Sriwedari seakan menepi. Sriwedari sekarang tenang oleh kedamaiannya karena tidak harus menjadi saksi hidup perseteruan PSSI. Stadion sederhana itu sudah cukup mewariskan kisah indah sepak bola yang melahirkan kebanggaan bagi bangsanya.
Di usia PSSI ke 82 tahun hari ini, Indonesia boleh berharap kisah kegemilangan di atas rumput Sriwedari mampu menghapus noda yang melanda rumput sepak bola nusantara kini. Sebuah pesan dari Sriwedari bahwa sepak bola Indonesia pernah bersatu padu, sepak bola Indonesia pernah berprestasi, sepak bola Indonesia pernah memiliki satu PSSI!
Dirgahayu PSSI!