REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ada yang menarik dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dalam menjatuhkan vonis untuk terdakwa perkara suap wisma atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin.
Beberapa di antaranya menurut majelis hakim adalah, proyek pembagunan wisma atlet SEA Games yang dilakukan PT Duta Graha Indah (PT DGI) dengan memanfaatkan posisi Nazaruddin sebagai bendahara umum Partai Demokrat dan memiliki hubungan dengan Menpora Andi Mallarangeng yang juga kader Partai Demokrat.
"Terdakwa adalah anggota Komisi III DPR RI sehingga tugas dan kewajiban tidak berkaitan langsung dengan Wisma Atlet karena itu tanggung jawab Komisi X DPR RI. Tetapi, terdakwa adalah bendahara Partai Demokrat, maka pemberian hadiah berpikiran bahwa terdakwa memiliki pengaruh terhadap rekan satu partai, yaitu Andi Mallarangeng," beber anggota majelis hakim Marsudin Nainggolan saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (20/4).
Hal tersebut, lanjut Marsudin, terbukti dari adanya beberapa kali pertemuan antara terdakwa dengan Andi Mallarangeng, Angelina Sondkah, Mahyudin dan Sesmenpora, Wafid Muharam. Di mana, salah satunya terjadi di Kemenpora sekitar Januari 2010.
Selain itu, ungkap Marsudin, terbukti dengan pernyataan terdakwa bahwa urusan dengan Komisi X DPR RI diserahkan kepada Mindo Rosalina Manullang (Rosa) dan urusan di Kemenpora diserahkan kepada Wafid Muharam.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis terdakwa perkara suap wisma atlet SEA Games M Nazaruddin dengan hukuman pidana penjara selama empat tahun 10 bulan dan denda Rp 200 juta.
Berdasarkan fakta persidangan, Nazaruddin terbukti menerima imbalan berupa 5 lembar cek senilai Rp4,6 miliar dari pemenang proyek wisma atlet, PT Duta Graha Indah (DGI). Padahal, cek tersebut diketahui Nazaruddin berkaitan dengan jabatannya selaku anggota DPR RI.
Oleh karenanya, perbuatan Nazaruddin secara sah memenuhi unsur dakwaan ketiga mengacu Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Secara yuridis terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi mengacu dakwaan Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ujar anggota majelis hakim, Marsudin Nainggolan.
Hukuman penjara 4 tahun 10 bulan yang dijatuhkan majelis hakim hanya selisih 2 bulan hukuman penjara maksimal 5 tahun yang diatur dalam Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi.
Namun vonis hakim ini jauh lebih ringan tahun dibandingkan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mantan bendahara umum Partai Demokrat itu dituntut hukuman tujuh tahun penjara serta denda Rp 300 juta subsider enam bulan penjara.