REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Perundangan terkait pengaturan ekonomi di Indonesia ditengarai melanggar konstitusi. Pemimpin negara seperti menjual rakyat dan bangsanya sendiri karena terbelit neoliberalisme asing. Legislatif pun diminta untuk berperan aktif memperbaiki amandemen undang-undang yang manipulatif.
Sebagian pihak menganggap bahwa sistem neoliberalisme adalah baik karena mengurangi peran negara dan memaksimalkan privatisasi. Namun, bagi sebagian lain, termasuk guru besar ekonomi UI Sri Edi Swasono, neoliberalisme justru menjadi penyebab menurunnya kesejahteraan Indonesia.
"Neolib justru membuat daulat pasar, bukannya daulat rakyat. Karena neolib, pembangunan hanya menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan," ujar Sri Edi di diskusi publik Bersama MK Tegakkan Kedaulatan Negara, Jumat(20/4).
Oleh karena itu, dia juga menegaskan bahwa neolib tidak akan bisa mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. "Padahal sistem ekonomi harus bisa memberikan rakyat kesejahteraan. Jika tidak, maka sistem yang diterapkan di Indonesia telah melanggar konstitusi," ucapnya.
Kegelisahan itulah yang menjadi latar belakang Sri Edi untuk menuliskan pemikirannya mengenai kesejahteraan sosial yang harusnya bisa diwujudkan di Indonesia. Lantaran penegakan sistem ekonomi Indonesia yang berdasarkan pada Pasal 33 UUD 1945 dihancurkan oleh berbagai produk konstitusi baru. Sri Edi mencontohkan beberapa peraturan yang tidak pro rakyat seperti UU Migas, UU Penanaman Modal Asing, dan beberapa perundangan lainnya.
"Saya mohon MK tidak sok pintar, jangan offside karena yang membuat UUD 1945 itu 79 orang. Terdiri dari ahli hukumnya 22 orang, doktor dan sisanya kiai besar serta para pemikir bijaksana,"sebut mantan Badan Pekerja MPR ini.