REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Biaya kampanye untuk pemilukada dinilai sudah saatnya diatur lebih tegas. Karena, dalam pelaksanaannya pesta demokrasi tingkat daerah itu telah menyuburkan praktik korupsi di daerah.
Hal itu semakin dikuatkan dengan banyaknya kepala daerah yang pada akhirnya tersandung kasus korupsi ketika menjabat.
Anggota Komisi II DPR-RI, Yan Herizal, mengatakan salah satu pemicu praktik korupsi adalah karena tingginya biaya kampanye. “Sistem pemilihan langsung memang membutuhkan dana yang besar bagi sosialisasi program dan figur para calon kepala daerah kepada masyarakat luas,” katanya, Jumat (20/4).
Biaya kampanye yang besar itu, menurut Yan, bisa menimbulkan praktik percukongan sebagai penyandang dana kampanye ketika calon maju dalam Pilkada. “Ketika sang calon terpilih, sang cukong akan menagih berbagai konsesi. Sehingga terjadinya praktik korupsi di daerah akibat kolaborasi penguasa dan cukong,” katanya.
Di sisi lain, dalam pandangan Yan, biaya tinggi dalam kampanye itu juga didorong oleh perilaku politik masyarakat yang belakangan cenderung pragmatis. Banyak masyarakat berharap adanya semacam imbalan yang diberikan oleh calon kepala daerah jika berkunjung ke wilayahnya. Hal ini membuat calon harus mempersiapkan anggaran tersendiri untuk turun ke lapangan.
Menurut Yan, untuk meminimalisasi tingginya biaya kampanye diperlukan revisi dalam aturan pemilukada. Peraturan pemilukada selama ini dianggapnya masih banyak yang tidak memadai, karena masih terdapat kekosongan hukum dan sejumlah aturan yang multitafsir. “Apalagi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemda sangat memfasilitasi para pemilik modal atau cukong untuk mendominasi pemilukada,” paparnya.
Saat ini, Komisi II DPR sedang menggodok RUU Pemilukada dengan berusaha meminimalisir peran cukong dalam memberikan dana kampanye yang tidak wajar. Salah satunya akan diatur tentang kewajiban bagi partai politik yang mengusulkan calon, juga kepada calon perorangan untuk memiliki rekening khusus dana kampanye yang didaftarkan di KPUD.