REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Akbar Wijaya/Wartawan Republika
Ia menjadi laksamana wanita pertama di dunia. Mempraktikkan emansipasi wanita jauh sebelum negeri-negeri Eropa dan Kartini mendengungkannya.
Keumalahayati tak bisa menyembunyikan kegeramannya begitu tahu suaminya meninggal di tangan armada laut Portugis dalam perang “Teluk Haru”. Kepada Sultan Saidil Mukammil Alaudi Riayat Syah, Sultan Aceh kala itu, lekas-lekas ia meminta dibentuk pasukan armada laut khusus yang prajuritnya terdiri dari janda perang. Permintaan Keumalahayati dipenuhi Sultan. Ia dipercaya memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol pemerintah. Armada pimpinan Keumalahayati dinamakan Armada Inong Balee (armada wanita janda).
Keumalahayati, wanita tangguh asal Aceh lahir tahun 1585. Namanya memiliki arti istimewa: batu indah dan bercahaya. Dia merupakan laksamana perempuan pertama dalam sejarah angkatan laut Indonesia dan dunia. Sepanjang sejarah kemiliterannya, nama Malayahati sohor sebagai petarung garis depan yang memimpin 2.000 pasukan.
Suatu hari pada Juni 1599, Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman memasuki pelabuhan Aceh. Mulanya kedatangan duo Belanda itu disambut baik oleh Sultan Aceh. Namun seiring waktu keduanya banyak membuat ulah. Mereka memanipulasi perdagangan, mengacau, dan menghasut rakyat melawan kerajaan. Sultan yang habis kesabaran memerintahkan Keumalahayati mengenyahkan para pengacau Belanda itu dari bumi Serambi Makkah.
Pertempuran sengit tak terelakan. Keumalahayati dan pasukan Inong Baleenya merangsek masuk ke atas geladak kapal de Houtman. Mereka lawan serdadu-serdadu de Houtman tanpa mengenal ragu dan takut. Hingga akhirnya Cornelis de Houtman meregang nyawa oleh tikaman rencong Keumalahayati. “Di kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis Houtman oleh Hayati sendiri,sedang Frederick de Houtman ditawan,” tulis Marie van C. Zeggelen dalam Oude Glorie.
Setahun pasca peristiwa penyerbuan kapal Cornelis de Houtman, dua kapal dagang Belanda pimpinan Paulus van Caerden kembali datang ke Aceh. Mereka merompak sebuah kapal dagang Aceh yang memuat lada, menenggelamkanya, dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan pantai Aceh. Keumalahayati gagal menangkap mereka, namun menjadi lebih waspada karenanya.
Pada 31 Juni 1601 Keumalahayati mendengar kabar kedatangan rombongan kapal Belanda di Aceh. Masih geram dengan ulah van Caerden Keumalahayati memerintahkan armada Inong Balee menahan kapal-kapal Belanda tersebut. Setelah diperiksa, rombongan kapal Belanda yang dipimpin Laksamana Jacob van Neck itu ternyata bertujuan damai. Mereka membawa surat permohonan maaf Prins Maurits yang ditujukan kepada Sultan Saidil Mukamil.
Sultan membuka diri, Keumalahayati ditunjuk sebagai diplomat resmi kesultanan Aceh. Pada 23 Agustus 1601 terjadi perundingan antara Laksamana Laurens Bicker, Komisaris Gerard de Roy dari Kerajaan Belanda, dengan Keumalahayati. Kecerdikan diplomasi Keumalahayati berhasil mendesak Belanda menyepakati empat butir perjanjian: Pertama, Kesultanan Aceh dan Kerajaan Aceh berdamai.
Kedua, Frederijck de Houtman dibebaskan dari tahanan. Ketiga, Belanda harus membayar kerugian kapal-kapal Aceh yang dibajak oleh Van Caerden sebesar 50 ribu Gulden. Keempat, Sultan Aceh Saidilmukamil mengirim tiga orang utusan, masing-masing: Abdul hamid, Laksamana Sri Muhammad, dan Mir Hassan ke Belanda sebagai balasan atas niat baik Belanda.
Pada Juni 1602, Sir James Lancaster pemimpin armada dagang East India Company (EIC) dari Inggris datang ke Aceh membawa surat ajakan kerjasama resmi Ratu Elizabeth I. Lagi-lagi Sultan Aceh mempercayakan Keumalahayati menjadi pemimpin perundingan. Sultan tidak keliru, perundingan yang dipimpim Keumalahayati membawa hasil baik. Pertukaran tanda mata antara Ratu Elizabeth I dengan Sultan Aceh berlangsung.
Sepak terjak Keumalahayati sebagai panglima perang sekaligus diplomat ulung melambungkan reputasinya. Dunia mengenalnya sebagai palang pintu memasuki Kesultanan Aceh. Apa yang dilakukan Keumalahayati menunjukkan bangsa Indonesia sudah mengenal emansipasi wanita jauh sebelum Kartini mewacanakannya. Emansipasi yang tidak hanya sekadar ide teori melainkan juga praktik kehidupan.