REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kubu Wa Ode Nurhayati menyatakan kecewa dengan keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kembali menetapkannya sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kasus yang menjeratanya adalah sama, yakni kasus suap Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID).
Menurut salah satu kuasa hukum Wa Ode, Sulistyowaati, penetepan status tersangka itu dianggap terlalu terburu-buru. "Terlalu terburu-buru. Kasus yang saat ini sedang ditangani saja (kasus DPPID) belum selesai, tapi sudah menetapkan status tersangka pada kasus yang lainnya," katanya saat dihubungi, Selasa (24/4).
Dia mengatakan, seharusnya KPK lebih bijak dalam menetapkan penetapan status tersangka. Menurutnya, KPK seharusnya menunggu terlebih dahulu hasil persidangan kasus DPPID. Karena, dari hasil persidangan, bisa dilihat terbukti atau tidaknya keterlibatan Wa Ode. Dengan begitu, fakta hukum penanganan kasus Wa Ode akan lebih kuat.
Pihaknya melihat ada unsur politis dalam penetapan status tersangka ini. Ia heran mengapa kasus Wa Ode penanganannya begitu cepat. Berbeda dengan penanganan kasus suap wisma atlet SEA Games dengan tersangka Angelina Sondakh yang sejak penetapan status tersangkanya tiga bulan lalu, belum pernah dimulai proses penyidikannya. "Ada apa ini dengan KPK. Seolah tebang pilih dalam menangani kasus," kata Sulistyowati
Pada Selasa (24/4), KPK mengumumkan penetapan status tersangka baru untuk mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Wa Ode Nurhyati. Kali ini, ia ditetapkan tersangka TPPU DPPID. "Dari hasil pengembangan penyidikan DPPID, KPK menemukan dua alat bukti bahwa ia tersangkut kasus korupsi tindak pidana pencucian uang," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di kantornya, Selasa (24/4).
"Kita menemukan ada harta yang bersangkutan masuk ke KPK kita telusuri kita sangkakan terkait TPPU," kata Johan. Namun, Johan tidak bisa menjelaskan bentuk harta tersebut. Selain itu, ia juga tidak bisa menjelaskan berapa nilainya dan nilai kerugian negaranya. Sebelumnya, Wa Ode jadi tersangka kasus DPPID. Wa Ode diduga telah menerima suap sebesar Rp 6,9 miliar dari Haris Surahman, kader Partai Golkar lainnya pada 2010. Tujuannya adalah agar proyek di Aceh dapat didapatkan oleh Haris dan Fadh.