REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Amerika Serikat kian tak berkompromi dengan situasi di Yaman. Presiden Barack Obama kini mengizinkan CIA dan militer untuk meluncurkan serangan dari pesawat tanpa awak (drone) terhadap target tanpa perlu memastikan siapa yang akan terbunuh dalam serangan tersebut.
Berdasar laporan Washington Post, Rabu (25/4) Obama meneken persetujuan 'serangan tipe tersebut' bulan ini. Tak hanya itu otoritas baru itu juga membolehkan CIA dan Komando Gabungan Operasi Khusus (JSOC) untuk membunuh orang berdasar 'tanda intelijen'--yakni pola perilaku yang ditemukan lewat pengintaian, penyadapan, pemantauan elektronik terhadap tersangka oleh drone, sekaligus informasi berdasar sumber lapangan yang mengarah pada 'plot menyerang AS dan kepentingannya"
Militer AS dan CIA selama ini telah mendominasi kawasan udara Yaman selama berbulan-bulan. Mereka mengeksekusi orang-orang yang dicurigai tokoh operasi Alqaidah dengan peluru kendali dari drone beramunisi berat.
Kontroversi yang muncul dari perintah ini, tentu saja masalah akurasi target. Mengonfirmasi dan mengidentifikasi target dari ribuan meter di atas tanah, oleh seorang pilot dari kejauhan bahkan ribuan kilometer, ialah cara yang sangat spekulatif yang berisiko memberi hasil tragis, bila ternyata sasaran ternyata salah.
Saat ini Serikat Kebebasan Sipil Amerika (ACLU) masih terus mencari kebenaran seputar serangan yang diotorisasi Obama pada 2009 lalu di Yaman yang membunuh rakyat sipil tak berdosa sebanyak 41 orang, termasuk 21 anak-anak dan 14 wanita.
Serangan itu diluncurkan dari kapal perang AS atau kapal selam dengan serangkaian biom. Insiden itu dianggap brutal dan tanpa pandang bulu. Saat itu, AS masih belum mengoperasikan pesawat tanpa awak dengan semena-mena di teritori udara Yaman.
Kebijakan baru itu tak diragukan bakal menghasilkan korban sipil tak berdosa seperti 2010 lalu, yang membunuh pemimpin suku vital. Satu serangan semacam terjadi pada Oktober 2011, menewaskan warga AS sendiri, seorang remaja berusia 16 tahun beserta sepupunya.