Jumat 27 Apr 2012 19:02 WIB

Nunun Ditanya Soal Artha Graha

Rep: A.Syalaby Ichsan/ Red: Djibril Muhammad
Terdakwa perkara kasus suap cek pelawat, Nunun Nurbaeti (kanan), saat sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (23/4).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Terdakwa perkara kasus suap cek pelawat, Nunun Nurbaeti (kanan), saat sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (23/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terdakwa perkara suap cek pelawat, Nunun Nurbaetie, juga ditanya tentang siapa penyandang dana cek pelawat untuk anggota DPR RI yang bertujuan meloloskan Miranda Swaray Goeltom menjadi Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia. Bahkan, Nunun ditanya apakah Bank Artha Graha juga terlibat dalam kasus suap tersebut.

"Ditanya. Tapi ibu jawab bahwa memang ibu tidak ada kaitan dengan Artha Graha dan ibu tidak tahu siapa penyandang dananya," ujar pengacara Nunun, Ina Rachman, saat dihubungi melalui pesan singkat, Jumat (27/4).

Peran Bank Artha Graha dalam kasus tersebut terungkap dalam persidangan. Kepala Seksi Travellers Cheque (cek pelawat) Bank Internasional Indonesia (BII), Krisna Pribadi, Senin (2/4),  bersaksi pada sidang lanjutan perkara suap cek pelawat dengan terdakwa Nunun Nurbaetie.

Dalam kesaksiannya, Krisna membenarkan bahwa Bank Artha Graha memesan sebanyak 480 lembar cek pelawat senilai Rp 24 miliar kepada BII. Pada Kamis (26/4), tiga pejabat Artha Graha dipanggil KPK untuk diperiksa. Mereka adalah Direktur Kepatuhan PT Artha Graha Witadinata Sumantri, Kepala Divisi Treasury Bank Artha Graha Gregorius Suryo Wiarso, cash officer bernama Tutur.

Selain itu, KPK memeriksa Kasie Traveller Cheque Bank Internasional Indonesia (BII) Krisna Pribadi terkait kasus yang sama. Gregorius, Krisna, dan Witadinata telah memenuhi panggilan KPK.

Pada sidang lainnya, mantan Direktur Keuangan PT First Mujur Plantation Industry (FMPI), Budi Santoso, Senin (26/3), cek itu adalah hasil perjanjian kerja sama pemilik PT FMPI, Hidayat Lukman, dengan Suhardi alias Ferry Yen untuk membeli kebun sawit di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara senilai Rp 75 miliar dengan luas 5.000 hektare. Ferry Yen meninggal pada 2007.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement