Ahad 29 Apr 2012 19:55 WIB

'Hindari Rawan Pangan, Jangan Lawan Siklus Air'

Rep: Siwi Tri Puji/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Petani memeriksa sawah yang kering akibat kekurangan pengairan
Foto: Antara
Petani memeriksa sawah yang kering akibat kekurangan pengairan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Rawan pangan tak akan terjadi, kata pakar lingkungan Prof Emil salim, jika hidup selaras dengan alam. Salah satunya, adalah tidak melawan siklus air.

"Jangan halangi aliran sungai, jangan gunduli hutan. Biarkan air menjalani siklusnya dengan sempurna," kata Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Ekonomi dan Lingkungan Hidup ini.

Bila siklus air dilawan, dan terlalu banyak campur tangan manusia, katanya, yang akan dipanen umat manusia adalah bencana. Banjir, kekeringan, dan krisis pangan adalah yang utama, kata tokoh kelahiran Lahat, Sumatera Selatan, 8 Juni 1930, ini.

“Saat itu, air tidak akan mencukupi untuk kebutuhan manusia. Masalahnya, hutan yang menampung hujan ditebang untuk beragam keperluan. Danau yang elok  menjadi tempat pembuangan sampah,” ujarnya.

Emil menjelaskan Indonesia terletak di sepanjang garis khatulistiwa, yang diapit oleh dua samudera (Pacific dan Hindia) dan dua benua (Asia dan Australia). “Kondisi alamiah ini membuat negara kita jadi surga hutan tropis dan berlautan tropis unik dengan keanekaragaman sumber alam hayati dan biodiversitas terkaya di dunia,” tambah Emil.

Alam tropis Indonesia menikmati curah hujan tinggi. Namun persebaran hujan tidak merata dengan curah hujan tertinggi di Pulau Jawa dan terendah di Nusa Tenggara.

Kondisi alam tanah air yang beraneka raga ini, lanjut Emil, mempengaruhi kemampuan produksi penduduk kita. Kombinasi penduduk Jawa yang hidup di pulau bertanah vulkanis subur dan curah hujan tinggi ini menghasilkan pola produksi berbasis tanah dengan air.

“Inilah mengapa pertanian tumbuh subur di Pulau Jawa, sedangkan pulau Nusa Tenggara  memiliki padang rumput yang yang luas, sehingga mendukung perkembangan peternakan,”  jelas Emil Salim.

Menurut dia, tanah penuh zat-zat kimia alami yang mendukung tumbuh kembang tanaman pangan. Bercampur dengan air, zat-zat ini akan diserap tumbuhan. Ketika siklus air terganggu, maka kimiawi tanah juga terganggu dan suplai pangan pada gilirannya akan terganggu pula.

Kondisi Alam Menurun

Mantan menteri berbagai bidang di era Orde Baru sejak tahun 1971 ini mengakui, kondisi alam saat ini sudah jauh menurun dibanding beberapa dasawarsa lalu. Karenanya, kata dia, terobosan teknologi perlu dikembangkan untuk menjamin ketersediaan pangan.

Misalnya saja, mengembangkan pertanian padi yang membutuhkan hanya sedikit air. "Para ilmuwan kita di LIPI sudah dan terus mengembangkannya," kata dia.

Ia juga mendorong dikembangkannya penerapan teknologi produksi pangan lain: pertanian hidroponik, bertani di atas atap, bertani algae di lautan, dan sistem stek tanaman darat di hutan bakau. "Teknologi yang dikembangkan di Jepang (bertani di atas laut) tak menutup kemungkinan untuk dikembangkan juga di sini," tambahnya.

Menurut Emil, seluruh komponen bangsa bertanggung jawab terhadap kelestarian alam dan ketersediaan pangan. "Kunci dari semuanya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Kuasai, dan gunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan umat manusia," kata Anggota Dewan pembina Yayasan Kehati ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement