REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Teguh Setiawan (wartawan)
Orang Spanyol kerap menyebut La Liga atau Primera Division seba gai kompetisi terbaik di dunia. Uli Hoeness, presiden Bayern Muen chen, hanya bisa tertawa mendengar celotehan itu.
Jose Maria Gay de Liebana, profesor ekonomi Universitas Barcelona yang mengkhususkan diri pada sepak bola, mengatakan, selama bertahunta hun sepak bola Spanyol adalah cer min keadaan ekonomi negara itu yang sesungguhnya. Namun, katanya, eufo ria sukses klub-klub negeri itu di kan cah Eropa seakan membutakan mata fans sepak bola Spanyol akan keadaan sesungguhnya klub-klub mereka.
“Selama bertahun-tahun klub sepak bola melakukan investasi be sar-besaran dan tidak efisien,” ujar Gay de Liebana. “Mereka tidak pu nya uang, tapi berambisi berinvestasi dan berutang.”
Valencia salah satunya. Pada 2007, Los Che membeli tanah dan membangun stadion baru berkapasitas 70 ribu kursi. Biaya pembangunan sebesar 300 juta euro diperoleh dengan cara meminjam dari sebuah bank. Manajemen Valencia yakin se luruh pinjaman akan terbayar se belum pembangunan selesai. Caranya dengan menjual stadion lama, yang ditaksir bernilai 400 juta euro. Dua tahun kemudian terjadi kri sis industri properti dan konstruksi. Pembangunan terhenti karena bank tidak mau lagi menyalurkan dana. Di sisi lain Valencia gagal men cari pem beli stadion lama.
Valencia tercekik utang. Mereka susah payah membayarnya. Jika ti dak mampu membayar cicilan pokok dan bunganya, mereka meminta penjadwalkan kembali.
Akibatnya, jumlah utang Valencia terus meningkat. Penjualan pemain, David Villa ke Barcelona, David Silva ke Manchester City, dan terakhir Ju an Mata ke Chelsea, harus dila ku kan untuk meringankan beban mereka.
Situasi itu juga tidak cukup membantu karena stadion baru—yang entah bagaimana bisa terselesaikan— ternyata menjadi simbol investasi tidak efisien. Stadion itu berkapasitas 70 ribu. Padahal fans Valencia, yang membeli karcis dan hadir di stadion setiap pekan, hanya 39 ribu. Terdapat 30 ribu kursi kosong setiap pekan dan secara bisnis adalah kerugian. Di sisi lain, stadion besar membutuhkan biaya pemeliharaan yang besar pula.
Hak Siar Televisi
Di peta sepak bola Eropa, Valen cia buan klub gurem. Mereka dua kali berturutan masuk final Liga Cham pions, yaitu pada musim 1999/2000 dan 2000/2001. Namun, mereka bu kan penikmat revenue hak siar televisi yang layak.
Studi terbaru memperlihatkan Va lencia setiap musim hanya menik mati revenue hak siar televisi 42 juta euro, sama yang dinikmati Wigan Athle tic—klub papan bawah Liga Primer. Valencia hanya bisa menik mati revenue hak siar televisi sedikit lebih baik jika tampil di Liga Champions. Pertanyaannya, siapa penikmat revenue hak siar televisi terbesar. Gay de Liebana mengatakan, “Ya, hanya Barcelona dan Real Madrid.”
Pada musim 2010/2011, menurut data yang dirilis comparethe lea gues. com, La Liga meraup revenue ta hunan 1,6 miliar euro, dengan estimasi penghasilan dari hak siar televisi sekitar 560 juta euro. Hampir 60 persen dari jumlah itu dinikmati Barcelona dan Real Madrid, sisanya—kalaupun tidak di bagi rata—didistribusikan ke 18 klub. Bisa dibayangkan berapa reve nue hak siar televisi yang diraup klubklub papan bawah seperti Racing San tander, Rayo Vallecano, atau Osasuna.
Yang sangat tidak membangga kan adalah revenue yang diterima La Liga hanya setengah dari jumlah yang diraup Liga Primer dan kalah jauh dibanding Serie A Italia. Harga rata-rata tiket La Liga, yang jauh lebih tinggi dari Bundesliga dan Serie A, juga tidak membantu kompetisi Spanyol untuk menjadi yang terbaik secara finansial.
Situasi lebih buruk lagi dialami klub-klub Seguda Division. Mereka hanya mendapat revenue hak siar te levisi paling sedikit karena pertan dingan mereka relatif tidak ba nyak disaksikan publik Spanyol.
Akibatnya, klub kerap berutang dan berutang untuk membiayai kompetisi dan membayar gaji pemain. Saat ini, saja total utang seluruh dari 20 klub Segunda Division mencapai 550 juta euro. Jika ditambah utang klub-klub Liga Primer, industri sepak bola Spanyol sebenarnya berutang empat miliar euro lebih. Pertanyaannya, mungkinkah pem bagian merata revenue hak siar televisi?
Gay de Liebana mengatakan, “Mung kin inilah saatnya untuk me rundingkan ulang pembagian yang adil.” Namun, banyak pihak ragu Bar celona dan Real Madrid bersedia kehilangan penghasilannya meski demi menyelamatkan sepak bola Spanyol. “Mungkin Madrid dan Barcelona ha rus berkorban,” kata Gay de Lie bana. Namun, jika itu dilakukan tidak akan ada lagi klub Spanyol yang ma suk daftar klub terkaya di dunia. Di sisi lain, Madrid dan Barcelona tidak akan bisa membeli pemain mahal yang membuat mereka bisa bersaing di Eropa.
Dampak lainnya adalah kedua klub tidak mungkin lagi menggaji pemain sekelas Cristiano Ronaldo 200 ribu euro per pekan dan mengontrak pelatih Jose Mourinho dengan bayaran 13 juta euro per musim. Itu artinya, Real Madrid harus menjual pemain bintangnya.
Di kubu Barcelona, jika klub-klub miskin menuntut bagi hasil yang adil, manajemen klub Katalan itu tidak akan bisa lagi menjadikan Lionel Messi sebagai pemain terkaya di dunia. Mereka juga akan kebingungan membeli pemain baru, ketika La Masia—akademi sepak bola Bar ce lona—tidak menghasilkan pemainpemain baru berkualitas.
“Memang serba salah. Tapi, pengorbanan harus dilakukan jika tidak ingin industri sepak bola Spanyol bangkrut,” ujar Gay de Liebana. “Real Madrid dan Barcelona harus sadar mereka membutuhkan kompetisi dengan 20 klub di dalamnya.”
Besar Pasak
Revenue hanya salah satu penghasilan klub. Penghasilan lainnya yang menentukan kelangsungan hi dup klub,adalah operating income. Real Madrid menikmati operating income, menurut Forbes, 214 juta euro. Ban dingkan dengan Manchester Uni ted yang mampu meraup operating income 532 juta euro pada musim lalu. Operating income yang dihasil kan Barcelona lebih parah lagi, yaitu hanya 96 juta euro. Jumlah ini sangat tidak mencerminkan Barcelona se bagai klub elite dengan jumlah peng gemar di seluruh pelosok bumi ini.
Valencia, penghuni urutan19 da lam daftar 20 klub terkaya di dunia, hanya menikmati operating in come 23 juta euro. Bisa diba yang kan bera pa operating income yang dinikmati klub-klub Spanyol di ba wah Valencia. Hasil studi Universitas Barcelona memperlihatkan upah tenaga kerja yang terus meroket kerap menyebabkan klub-klub kesulitan membayar gaji pemain dan stafnya dari operating income. Akibatnya, terjadilah besak pasak dari pada tiang.
“Ini memperlihatkan terjadi eko nomi tidak berkelanjutan, yang mem buat klub-klub kerap dipaksa men cari penghasilan lain untuk menutup biaya operasional,” kata Gay de Liebana. Hanya ada satu cara untuk me nga tasi semua ini. Yaitu, mengen cang kan ikat pinggang. Caranya, de ngan memotong gaji pemain secara drastis. Jika sepak bola adalah cer min ekonomi Spanyol maka pelaku in dustri sepak bola juga harus melakukannya.
Bagi pemain nonbintang, kebijakan pemotongan gaji mungkin bisa diterima. Sedangkan, bagi pemain bintang, yang notabene bukan orang Spanyol, kebijakan ini akan direspons dengan meminta manajemen menjualnya ke klub lain.
Itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Pada 2005, ketika pemerintah berkuasa saat itu berniat mengubah kebijakan soal pajak penghasilan, seluruh pemain asing gundah. Sebagai informasi, ketika David Beckham datang ke Real Madrid, kebijakan pajak di Spanyol sungguh aneh; pemain asing dikenakan pajak penghasilan jauh lebih kecil dibanding pemain lokal.
Beckham relatif tidak terganggu dengan kebijakan itu karena pajak penghasilannya dibayarkan klub. Pemain asing lain, yang pajak penghasilannya tidak dibayarkan klub, gundah dan memilih pergi jika Pemerintah Spanyol meluncurkan kebijakan itu.