REPUBLIKA.CO.ID,Sukses berhasil meraih Piala Citra, Prisia Wulandari Nasution merasa masih haus ilmu di dunia hiburan. Mulai dari belajar berperan di belakang layar, membuat film indie, sampai terjun ke salah satu akademi film yang baru didirikan di Jakarta, semua dilakukan Phia, sapaan akrabnya, untuk memuaskan dahaga belajarnya.
Wanita kelahiran Jakarta, 1 Juni 1984, ini mengaku ingin memajukan film Indonesia dan mematahkan cara lama industri ini bergerak sehingga sedikit menutup jalur regenerasi pemain. Tidak hanya itu, mantan atlet pencak silat ini ingin pada masa mendatang aktor atau aktris film itu tidak hanya dinilai semata karena fisiknya, tapi jauh dinilai ke dalam kemampuannya memainkan sebuah peran.
“Sekarang ini pemain film hanya dilihat apakah ia cantik atau rupawan. Padahal, seharusnya bukan itu yang menjadi pertimbangan utama,” ujar pemeran ibu Muslimah dalam mini seri “Laskar Pelangi”. Dengan mendorong adanya regenerasi di dunia seni peran, Phia mengaku sama sekali tidak khawatir dirinya cepat tergeser atau kalah dalam persaingan dengan pendatang baru. Menurut dia, semua orang pasti sudah memiliki bagiannya masing-masing. Tidak perlu juga khawatir jatah kita akan diambil orang lain.
Setelah sukses memerankan Srintil di “Sang Penari”, ada kegiatan apa saja yang saat ini tengah dikerjakan?
Untuk film, belum ada. Terakhir mini seri “Laskar Pelangi” 15 episode itu. Di luar film, saat ini saya sedang sibuk bersama dengan teman-teman lainnya, seperti Rudi Sudjarwo dan Kemal Arsjad, mulai membangun agensi JIM Artist.
Setelah selama ini saya sendiri, tanpa agensi kini saya memilih bergabung dengan JIM Artist dengan alasan adanya kesamaan visi, yaitu membangun perfilman Indonesia. Tidak hanya agensi, di manajemen baru ini, mereka memiliki akademi film yang menurut saya akan sangat membantu lahirnya sutradara-sutradara baru Indonesia. Baik artis maupun agensi, keduanya sama-sama saling membutuhkan.
Bagaimana dengan hobi membuat film Indie?
Sampai sekarang sudah ada tiga film indie yang saya buat. Rata-rata bercerita tentang introspeksi diri, bagaimana cara bersyukur dalam kehidupan pergaulan sehari-hari, dan sebagainya. Mulanya sih hanya karena hobi menulis yang lama-kelamaan rasanya ingin direalisasikan dalam bentuk gambar.
Mulai deh, ajak teman sana-sini untuk memvisualisasikan tulisan saya ini. Jadi, kalau nonton film sendiri, saya jadi teringat apa yang ada di kepala saya ketika saya membuat ide cerita ini. Karena proyek sendiri, dana yang dipakai pun dari kantong sendiri. Lumayan tekor, karena bisa dibilang habis ratusan juta, tapi yang penting proses belajarnya itu.
Menurut kamu, apa tantangan terbesar yang harus dihadapi saat ini sebagai aktris?
Salah satu tantangan terbesar yang saya dapatkan ketika mulai terjun di dunia film ini adalah bagaimana saya dapat memilih peran. Apa yang sekiranya dapat saya mainkan, tanpa sampai terbutakan dengan banyaknya tawaran yang mampir. Kalau sebagian orang menganggap selektif memilih peran itu menghapuskan kesempatan berproses, menurut saya, pilih-pilih peran justru menjadi upaya memajukan perfilman itu sendiri.
Proses belajar tentu tidak boleh juga sampai dilupakan. Dalam memilih peran, setidaknya harus ada standar yang kita jadikan acuan. Kalau saya sendiri punya idealisme, peran itu harus mampu memperluas pengetahuan dan kemampuan saya secara umum. Kalau tidak mengambil peran Srintil, saya tidak akan belajar tentang batik banyumasan itu apa? Atau, seperti apa lika-liku kehidupan ronggeng.
Kangen dengan dunia pencak silat?
Iya, rasa kangen pasti ada. Sebagai atlet yang pernah ikut membawa nama bangsa, rasa untuk kembali ikut bertanding pasti terasa. Pindah haluan dari atlet menjadi artis adalah pilihan yang mengubah jalur hidup saya secara drastis. Untuk mengobati rindu pada dunia yang penuh kompetisi itu, saya ingin juga dapat peran sebagai petarung.
Perang petarung itu, menjadi salah satu karakter idaman saya, selain tentu masih ada banyak lagi karakter lain yang ingin sekali saya mainkan. Kembali lagi, perannya juga idealnya mampu memberikan kesempatan untuk belajar lebih banyak hal, misalnya dengan keliling Indonesia.
Mengapa sampai sekarang masih enggan main sinetron?
Sinetron itu sebenarnya adalah film yang berseri. Serial “Laskar Pelangi” yang saya ikuti, sebenarnya juga termasuk sinetron, tapi hanya 15 episode. Dalam pengambilan keputusan untuk berpartisipasi dalam suatu proyek tertentu, saya sangat peduli dengan karakter seperti apa yang harus saya jalani. Sinetron pada umumnya memberikan naskah setengah jalan yang masih memungkinkan pengembangan karakter calon tokoh yang akan saya mainkan. Kalau saya tidak tahu karakter ini akan seperti apa nantinya, terus terang saya khawatir. Saya juga jadi kurang optimal dalam proses ‘membungkus’ karakter yang akan saya perankan itu. “Laskar pelangi” memberikan naskah lengkap yang disertai dengan sesi reading sebagai persiapannya, saya pun jadi lebih nyaman mengeksplorasi kemampuan saya.