REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bangunan dengan usia pemakaian lama atau bangunan awet dapat melenyapkan budaya gotong-royong di masyarakat. "Bangunan-bangunan temporer yang punya masa ganti lebih cepat, punya keunggulan melestarikan gotong royong," kata Dosen Arsitektur Universitas Indonesia (UI), Yandi Andri Yatmo, dalam jumpa pers peraih Holcim Award, di Jakarta, Kamis (3/5).
Yandi mengatakan masyarakat di sejumlah daerah Indonesia selalu menjunjung tinggi gotong-royong ketika terlibat dalam kegiatan membangun bagi anggota masyarakatnya.
"Pemakaian bahan temporer seperti kayu dan bambu juga penting karena seringkali masyarakat lokal memiliki pengetahuan tentang bahan bangunan lebih baik dibanding arsitek," kata pengajar di Jurusan Aristektur Fakultas Teknik UI itu.
Beberapa pengetahuan lokal tentang bahan bangunan itu, menurut Yandi, seperti pemilihan pasak dibanding paku untuk menyambung kayu atau bambu. "Dengan pasak, dua bahan yang disatukan menjadi lebih kuat karena dengan paku bahan akan pecah," kata Yandi.
Yandi membantah anggapan bahwa arsitek selalu lebih pintar dari masyarakat di pedesaan dalam pengetahuan bangunan tidak dapat diterima.
"Hal yang justru harus disebarluaskan kepada masyarakat adalah kegiatan rancang bangun tidak selalu menggunakan bahan-bahan yang mahal, tapi dapat memakai bahan yang tersedia di sekitar daerah itu," kata Yandi.
Yandi menjadi pemenang dalam Holcim Asia Pasific Award karena proyek-proyek yang dikerjakannya bersama sejumlah arsitek dari UI di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih mengutamakan kearifan lokal.
"Proyek bukan sekedar pengerjaan arsitektur dalam artian fisik, melainkan lebih pada pengkonstruksian situasi di mana komunitas menjadi sadar akan potensi dan kekuatan mereka," kata Yandi.