REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bakal calon gubernur DKI Jakarta yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid (HNW) sempat mengalami penolakan saat akan menjadi khatib Shalat Jum'at di Masjid An Ni'mah, Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jumat (4/5). Meski begitu, setelah dilakukan negosiasi dengan pihak-pihak terkait, HNW tetap dapat menjadi khatib Shalat Jum'at di masjid tersebut.
Kepala Bidang Informasi Publik Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia menjelaskan, Pemprov tidak pernah melarang seseorang yang akan menjadi khatib Shalat Jum'at.
"Akan tetapi, rumah ibadah itu memang dilarang untuk kegiatan politik," ujar Cucu kepada Republika, Jum'at (4/5). Cucu pun menyarankan agar pihak Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta dikonfirmasi terkait hal ini.
Ketua Panwaslu Ramdansyah mengatakan, ada kesalahpahaman pihak-pihak di wilayah tersebut dalam memahami Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Pada pasal 84 ayat 1 poin G disebutkan, pelaksana, peserta dan petugas kampanye dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan.
"Ada kesalahpahaman di situ," ujar Ramdan saat dihubungi Republika, Jum'at (4/5).
Ramdan menjelaskan, siapapun berhak menjadi khatib Shalat Jum'at di masjid manapun. Pelarangan untuk menjadi Khatib Shalat Jum'at di sebuah masjid, lanjut Ramdan, adalah fenomena yang biasa ditemui pada zaman orde baru (orba).
Ramdan pun mengibaratkan insiden yang dihadapi oleh HNW sebagai berikut.
"Misalnya, seseorang yang biasa berkurban 10 ekor sapi saat Idul Adha, selalu diterima oleh panitia. Kemudian apakah saat orang tersebut akan mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, 10 ekor sapi hewan kurbannya akan ditolak? Kira-kira begitu perumpamaannya," ungkap Ramdan.