REPUBLIKA.CO.ID, OSLO - Sosok pembantai berdarah dingin Norwegia, Anders Behring Breivik menolak mengaku bersalah atas penyerangan membabi buta yang ia lakukan pada 22 Juli lalu. Ia menegaskan para korban telah mengkhianati negara dengan menerima imigrasi karena itu layak dibunuh.
"Namun karena saya seorang nasionalis militan, maka saya dituding fanatik rasisme,"ujarnya. "Mereka mencoba merendahkan arti sikap dan pendirian saya."
Kuasa Hukumnya pun mengakui tak ada celah untuk pembebasan, sehingga kunci persidangan ialah menentukan apakah tindak kriminal Breivik didorong kegilaan.
Hasil pemeriksaan dua dokter kejiwaan menyatakan hasil berlawanan. Dalam pernyataan di sidang, Dewan Kedokteran Forensik Norwegia, meminta tambahan informasi dari dua psikiater yang menyatakan bahwa Breivik normal dan tak memilki gangguan jiwa, karena laporan itu dianggap tidak lengkap.
Breivik sendiri selalu meyakini dirinya waras dan menuduh penuntu mencoba membuatnya terlihat irasional. "Saya tahu saya dalam risiko berakhir di tahanan rumah sakit jiwa dan saya akan melakukan apa pun untuk menghindari itu," ujarnya di persidangan.
Ia malah menganggap hasil pemeriksaan yang menggapnya gila sebagai penghinaan. "Coba kalau saya seorang jihadis yang berjenggot, orang tak akan menanggap saya gila."
Breivik menjadi defensif ketika penuntut umum menanyainya serangkaian pertanyaan seputar bagian manifestonya berjumlah 1.500 lembar yang ditayangkan online sebelum serangan. Dalam manifesto digambarkan seragam, medali, salam dan tata etika grup militan 'Knight of Templar', dimana ia mengklaim menjadi anggotanya. Penuntut tak meyakini semua itu ada.
Dalam satu bab yang dibacakan oleh penuntut Svein Holden, Breivik dianggap telah berspekulasi mengenai masyarakat masa depan, di mana kesetiaan terhadap ksatria potensial bakal diuji dengan menjalani operasi amputasi atau khitan.
Tak terima Breivik balik mengecam penuntut yang ia sebut melakukan pukulan rendahan dan mencomot bagian itu diluar konteks.
Breivik, 33 tahun, tak menunjukkan sikap atau wajah penyesalah. Ia malah terus memberi pengakuan mengejukan atas penembakan tanpa pandang bulu yang ia lakukan di perkemahan musim panas Partai Buruh. "Serangan itu diperlukan," ujarnya seraya membandingkan ia pun ditinggalkan keluarga dan teman dekatnya seperti keluarga korban yang ditinggalkan.
Dalam satu kesempatan ia juga melontarkan permintaan maat terhadap pemilik pub yang menjadi satu dari delapan korban tewas dalam ledakan di luar kantor pemerintahan Oslo. Breivik mengatakan ia tak bermaksud membunuh 'rakyat sipil'.
Penuntut umum bertanya apakah ia ingin mengucapkan permintaan maaf yang sama kepada korban lain, termasuk 97 yang terbunuh di kamp pemuda di Pulau Utoya. "Tidak, saya tidak ingin," jawab Breivik. "Utoya ialah kemah indoktrinasi politik."
"Saya memandang para aktivis politik multikultural sebagai monster, sebagai monster jahat yang ingin menghapus keberadaan orang-orang kita, grup etnis kita, budaya dan negara kita," ujarnya.
Salah satu keluarga korban, Jon Hestnes, yang mengordinasi grup dukungan untuk para keluarga dan korban selamat, menyatakan sangat permintaan maaf Breivik sangat mengerikan. "Betul-betul penghinaan bagi 76 orang yang meninggal akibat dia." ujarnya.
"Ia tak hidup di dunia kita. Ia bukanlah dan tak memiliki kemanusiaan sama sekali. Saya menepuk nyamuk saat musim panas lalu karena gatal, seperti itulah ia memandang hidup manusia," ujar Hestnes.
Masih dalam sidang, Breivik, dengan tenang menuturkan pula bahwa ia menggunakan pistol untuk membunuh korban dalam jarak kurang dari 10 meter. Untuk jarak lebih ia memakai riffle.
Saat ditanya mengapa ia membiarkan satu orang tak terbunuh dalam aksi itu, Breivik menjawab dia berpikir karena penampilan si pria membuatnya tampak seperti 'orang beraliran kanan. "Ketika saya melihatnya, saya melihat diri saya. Saya pikir itu alasan mengapa saya tidak menembaknya," ungkapnya.
Jika dinyatakan waras, Breivik , dibawah hukum Norwegia yang tak mengenal hukuman mati. akan menghadapi hukuman ganjaran 21 tahun penjara, meski masa penahanan bisa diperpanjang bila ia dianggap membahayakan masyarakat. Norwegia tak mengenal hukum. Sebaliknya, bila ia diputuskan masuk fasilitas rehabilitas jiwa maka ia akan menjalani perawatan dan akan dikeluarkan hingga dinyatakan ia tak lagi berbahaya dan sembuh dari gangguan jiwa.
Breivik yang sejak awal proses persidangan menolak dianggap gila memang tak ingin dipenjara. Tuntutan hukuman ia anggap hal 'menyedihkan. "Hanya ada dua cara, bebaskan saya atau hukum mati saya."