REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun yang sama, Allah membimbing Ali pada potongan puzzle lainnya. Di tanah kelahirannya, bulan sabit adalah sebuah simbol adat. “Setiap rumah adat Timor Leste selalu memiliki simbol bulan sabit di bagian atapnya. Di saat yang sama, aku mengenalnya pula sebagai simbol masjid,” katanya.
Seolah tak terima, otak Ali kembali dipenuhi tanda tanya. Ia mempertanyakan mengapa simbol itu tidak terdapat di gereja yang menjadi tempat ibadah hampir seluruh masyarakat Timor Leste. “Aku benar-benar ingin tahu mengapa simbol kami itu justru terdapat di tempat ibadah umat lain (Muslim).”
Seorang pria keturunan Arab yang dikenalnya mengatakan pada Ali, bahwa sebelum Portugal datang, Timor Leste telah dihuni oleh orang Islam. “Menurutnya, simbol bulan sabit adalah peninggalan orang-orang Islam pada masa itu,” ujarnya. Ali menyimpan jawaban itu dalam pikirannya.
Tak lama berselang, pertanyaan serupa kembali berputar di kepala Ali. Ia melihat kesamaan antara alat musik tabuh khas Timor Leste, tebe-tebe (bentuknya seperti seperti bedug, namun berukuran kecil), dengan bedug yang pernah diihatnya di masjid. Juga antara ritual baptis dengan amalan wudhu yang dilakukan oleh Muslim sebelum shalat. “Aku merasa seolah ada kedekatan antara adat kami dengan budaya Islam,” katanya.
Ali lalu menghampiri ayahnya dan mengutarakan rasa ingin tahunya. “Ayah hanya menjelaskan bahwa sebagian dari adat kami adalah peninggalan sekelompok orang yang tidak makan babi. Belakangan aku baru tahu bahwa mereka (yang tidak makan babi) adalah orang-orang Islam.”
***
Hingga usia 20-an, Ali tak pernah mengenyam bangku sekolah. Terlahir dari dua orang tua yang tidak mengenal baca-tulis, dan sebagai anak laki-laki yang memiliki tiga orang adik, Ali harus mengutamakan adik-adiknya. Terlebih, ketika mulai diberlakukan wajib militer, Ali harus meninggalkan rumah dan tinggal di barak. “Kami dilatih untuk menjadi tenaga bantuan operasi militer. Semacam sukarelawan, karena kami tidak digaji.”
Aturan yang semakin menjauhkannya dari bangku sekolah itu tak sepenuhnya ia sesali. Karena justru di lingkungan militer itu Ali mengenal huruf dan angka serta baca-tulis.
Segera setelah mampu membaca, meski masih terbata-bata, Ali tergerak untuk mengetahui isi Al-Kitab. Ketika pulang ke rumah suatu hari, ia meminjam Injil milik kakak iparnya dan mencoba membacanya. Di barak, ia juga memiliki bacaan lain. “Buku cetakan 1975 terbitan Thoha Putra. Judulnya Tuntunan Shalat Lengkap,” jelas Ali.