REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Laily Rahmawati/Antara
Kabut kelam di Puncak Gunung Salak, Bogor, kian memudar, pilu yang tersiar akibat jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 pada Rabu (9/5) lalu tidak hanya meninggalkan luka, tapi juga rasa bangga sempat menjadi bagian dalam operasi kemanusiaan tersebut.
Selama 10 hari, sekitar 2.000 orang tergabung dalam komando Badan SAR Nasional mendedikasikan tenaga, pikiran dan jiwanya demi sebuah nama, kemanusiaan.
Pendakian pencarian korban dimulai, Kamis (10/5) 750 personel disebar menyisiri kaki Gunung Salak mencari keberadaan Sukhoi yang menghilang.
Jalur pendakian dibagi beberapa titik, setiap aparat kewilayahan menggelar operasi secara serentak dengan sasaran mencari koordinat jatuhnya pesawat.
Ada yang naik melewati jalur Cidahu Sukabumi, ada juga yang naik dari RINDAM Jaya, Tejolaya, Kabupaten Bogor. Hingga pukul 12.00 WIB, personel mendapat koordinat pasti keberadaan Sukhoi yang telah menjadi puing-puing ditengah hutan.
Keputusan tim memindahkan posko kendali ke atas kaki Gunung Salak ketinggian 1.200 mdpl tepatnya di Balai Embrio Ternak, Cipelang, Kabupaten Bogor menjadi pembuka jalur evakuasi para korban.
Sekitar 750 tim disebar menyusuri belantara dengan misi evakuasi. Tim diberi tugas berbeda, satu tim bertugas membuka jalan, tim kedua pembawa logistik dan peralatan dan tim ke berikutnya melakukan evakuasi.
Ketangguhan Gunung Salak menjadi misi utama untuk ditaklukkan. Jalan berliku, dikelilingi jurang, hutan nan lebat, hingga dingin menusuk tulang.
"Kalau mendaki gunung sudah biasa, dan sudah bagian dari tugas. Tapi memang dingin di Gunung Salak tidak bisa kompromi," kata Serka S Jatmiko, salah seorang anggota Paskhas dari Batalion 467 Jakarta.
Selama empat hari melakukan pencarian di Gunung Salak, Jatmiko merasakan beratnya medan yang harus dihadapi bersama rekan-rekan.
Untuk menghalau dingin yang menusuk tulang, apa pun dilakukan, bahkan harus tidur di dalam kantong jenazah pun tidak menjadi persoalan.
"Mumpung belum dipakai, jadi saya pakai dulu aja. Karena sangat dingin. Sudah pakai kantong jenazah juga masih terasa sampai embunnya terasa dari dalam," katanya.
Kantong jenazah menjadi satu-satunya selimut serta alas tidur para relawan sebelum menyetuh kedalam 500 meter tempat pesawat bersemayam.
Usai bermalam, tim harus melanjutkan perjalanan menuruni lembah dengan menggunakan akar pohon yang tersedia, sembari menunggu tim lanjutan yang membawa tali serta logistik.