REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Penonaktifan 173 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi diklaim sebagai tindakan yang tepat. Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan keputusan untuk menonaktifkan itu harus tetap dilakukan, meski pada perkembanganya ada yang mengajukannya ke meja hijau.
“Kalau itu (penonaktifan) tidak dilakukan, berarti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mendukung apa yang menjadi semangat reformasi dibidang hukum,” katanya saat ditemui di Bina Graha, Senin (21/5).
Ia mengatakan penonaktifan para kepala daerah itu dilakukan sebagai pemberian izin dari presiden agar proses hukum yang berkaitan dengan mereka bisa diproses dengan seharusnya. Artinya, agar pemeriksaan secara hukum terhadap para kepala daerah itu tetap bisa dilakukan dan tidak mengorbankan tugas dan tanggung jawab di daerah.
Julian menegaskan kasus gugatan mantan Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamudin di PTUN sepenuhnya diserahkan pada ranah hukum. Pemerintah pun telah menghormati putusan sela itu dengan tidak melantik Gubernur Bengkulu definitive, Junaidi Hamzah.
Hanya saja, ia lagi-lagi mengatakan keputusan untuk menonaktifkan yang bersangkutan dilandasi alasan kuat. Yakni adanya amar putusan dari Mahkamah Agung yang memvonis Agusrin bersalah dalam kasus korupsi. Sejalan dengan itu, UU 32/2004 tentang Pemda menindaklanjuti dengan mengisi kekosongan jabatan di Bengkulu itu.
“Jadi, kalau ada putusan sela dari PTUN bahwa tidak bisa dieksekusi (amar putusan MA) atau dilanjutkan proses setelah itu (pelantikan pejabat baru), kita terima,” katanya.