REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Lebih dari seribuan orang melakukan aksi demonstrasi di Myanmar. Aksi demonstrasi terbesar dalam lima tahun terakhir itu memprotes pemadaman listrik yang parah di sana yang sudah berlangsung selama tiga bulan dengan intensitas hidupnya listrik selama empat jam per harinya.
Aksi bakal berlanjut di Mandalay pada Senin (21/5) malam pada saat warga melampiaskan kemarahannya. Demonstrasi terjadi setelah pemerintah sipil terbatas Myanmar menyetujui RUU yang memungkinkan protes damai resmi dilakukan. Berdasarkan peraturan baru itu, kata warga kepada AFP, para demonstran perlu untuk meminta izin lima hari sebelumnya untuk mengadakan protes, atau risiko satu tahun penjara.
Meski para demonstran Mandalay yang dimobilisasi secara online itu gagal meminta izin rapat umum, namun tidak dibubarkan oleh polisi. "Semua orang memegang lilin menyala dan berjalan," kata salah satu pengunjuk rasa dengan nama pena, Hercule.
Protes jarang terjadi di negara otoriter yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, di mana aksi unjuk rasa pro-demokrasi pada tahun 1988 dan 2007 secara brutal dibubarkan oleh junta militer. Pengamat HAM internasional Human Rights Watch yang berbasis di New York telah mendesak parlemen Myanmar untuk mencabut unsur-unsur hukum protes yang lebih pendek dari standar internasional.
Mandalay dilanda kekurangan listrik beberapa bulan, dengan pengurangan pasokan listrik secara bertahap untuk sedikitnya empat atau lima jam sehari. Warga menuduh pemerintah gagal menyediakan listrik untuk mereka sementara daya dijual ke negara tetangga Cina.