Selasa 22 May 2012 16:45 WIB

Fikih Muslimah: Nazar Almarhumah, Bagaimana Hukumnya? (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, “Bila saya lulus ujian nasional maka saya akan berpuasa Dawud,” kata seorang pelajar Sekolah Menengah Atas, kepada gurunya. Ungkapan itu ia sampaikan sebagai bentuk syukur apabila harapan dan doanya itu terkabul.

Berjanji pada diri sendiri untuk mengerjakan suatu hal bila keinginan ataupun kesuksesannya tercapai adalah termasuk dalam kategori nazar. Nazar, seperti dikutip dari buku Al-Jami’ fi Fiqh An-Nisa’ pada dasarnya ialah mewajibkan pada diri sendiri perkara yang belum pernah disyariatkan kepadanya.

Niat tersebut hukumnya wajib dilaksanakan menurut Islam. Dengan catatan, jenis pekerjaan yang ia nazarkan bukan perbuatan yang dilarang dalam agama. Sebagaimana hadis riyawat Bukhari, Abu Daud, Nasai, dan Ibnu Majah.

“Barang siapa bernazar untuk berbuat taat kepada Allah maka hendaklah ia berbuat taat kepada-Nya dan barang siapa bernazar untuk tidak maksiat kepada-Nya maka hendaklah ia tidak berbuat maksiat kepada-Nya.” Ketentuan nazar tersebut berlaku baik untuk laki-laki ataupun perempuan.

Dr Abdul Karim Zaidan dalam Al-Mufashal fi Ahkam Al-Mar’at, mengatakan tidak ada perbedaan ketetapan nazar antara Muslim dan Muslimah. Apa yang diterapkan bagi laki-laki juga ditetapkan bagi perempuan.

Demikian halnya, tidak ada pengecualian atau dispensasi berdasarkan gender. Mengutip pendapat Ibn Hazm, bahwa nazar laki-laki atau perempuan sama saja. Entah lajang atau bersuami, punya orang tua atau tidak, hamba sahaya atau mereka yang bebas, semuanya bila telah mengucapkan nazar, maka berkewajib an memenuhinya.

Ibnu Hazm menjelaskan, salah satu syarat bagi nadzir (pelaku nazar) adalah kemampuan melaksanakan perbuatan yang ia nazarkan. Lantas bagaimana dengan hukum seseorang Muslimah yang bernazar, namun ia meninggal dunia sebelum nazarnya terlaksana?

Terkait ini ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang solusi hukum atas nazar itu. Salah satunya ialah hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas RA bahwa Sa’ad bin Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah, “Ibuku telah meninggal dunia sedang dia mempunyai kewajiban nazar yang belum ia tunaikan?” Maka Rasulullah bersabda, “Tunaikanlah untuknya!”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement