Selasa 22 May 2012 16:59 WIB

Fikih Muslimah: Nazar Almarhumah, Bagaimana Hukumnya? (2-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Riwayat lain menyebutkan, seseorang pernah mendatangi Rasulullah dan menanyakan perihal saudaranya yang nazar berangkat haji, namun ia meninggal sebelum nazarnya terpenuhi.

Rasulullah berkata, “Bila ia berhutang, bukankah engkau wajib membayar untuknya?” Ia mengiyakannya. Kemudian Rasulullah bersabda, “Tunaikanlah, karena hak-hak Allah lebih patut ditunaikan!”

Berdasarkan hadis di atas, Mazhab Dhahiri berpendapat bahwa siapa pun tak terkecuali perempuan yang bernazar lalu meninggal dunia dan belum terlaksana maka walinyalah yang berkewajiban menunaikan nazar tersebut. Baik nazarnya berupa shalat, puasa, haji, atau umrah, serta segala jenis kebaikan yang dinazarkan.

Bila wali menolaknya, maka ia bisa membayar seseorang dari harta warisannya agar melaksanakan nazar itu. Pendapat yang sama diutarakan oleh ulama dari kalangan Mazhab Hanbali. Ibnu Qudamah mengisyaratkan hal itu dalam kitabnya, Al-Mughni.

Menurutnya, bila Muslimah belum sempat mengerjakan apa yang ia nazarkan maka kewajiban itu ada di tangan wali. Lebih utama dikerjakan oleh ahli warisnya. Tetapi, tidak menutup kemungkinan pula didelegasikan ke orang lain.

Sedangkan, Imam Ahmad sendiri menggarisbawahi, bahwa bila yang ia nazarkan ialah shalat maka bagaimanapun tidak boleh digantikan. Sedangkan, selain shalat, bisa dialihkan ke wali. Status hukum pelaksanaan nazar tersebut bagi wali, menurutnya, tak lagi wajib. Melainkan berubah menjadi sunah dan bentuk perbuatan baik saja.

Persoalan selanjutnya, ialah bagaimana dengan nazar almarhumah yang terkait dengan harta? Misalnya, nazar membelikan emas bagi anak.

Bila yang bersangkutan meninggal dunia maka menurut mayoritas ulama, pembelian barang tersebut diambil dari harta warisannya sekalipun almarhumah tidak meninggalkan wasiat terkait nazarnya itu. Kecuali, bila Muslimah tersebut bernazar saat sekarat maka biayanya diambil dari sepertiga hartanya.

Sedangkan, Mazhab Maliki dan Hanafi menetapkan syarat mutlak penggunaan harta warisan untuk pelaksanaan nazar harus ada wasiat dari almarhumah. Dan masih menurut kedua Mazhab ini, jika almarhumah tidak meninggalkan harta yang cukup untuk pelaksanaan nazar itu, maka ahli warisnya tidak berkewajiban menunaikan nazarnya. Kecuali, bila mereka berniat secara sukarela.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement