REPUBLIKA.CO.ID, NOUAKCHOTT -- Penasehat Presiden Mauritania Aslamo Ould Sidi al-Mustafa mengeluarkan fatwa yang melarang perempuan menjadi presiden meskipun mereka diizinkan mengikuti pemilu, Selasa (22/5).
Keputusan tersebut mengundang kemarahan dari perempuan di negara tersebut. "Perempuan bisa mengikuti pemilihan presiden selama mereka tidak memiliki kesempatan menang. Mereka bisa mengikutinya hanya untuk bersenang-senang," ujar al-Mustafa yang juga seorang ulama.
Fatwa tersebut membuat geram salah satu organisasi hak asasi perempuan terkemuka, Asosiasi Kepala Keluarga Perempuan. Menurut asosiasi tersebut, fatwa itu adalah bentuk pelanggaran keras terhadap hak perempuan dan hukum negara.
"Fatwa juga sangat kontradiktif karena memberi hak bagi perempuan bertarung di pemilu tapi tidak hak untuk menang," ujar asosiasi tersebut dalam pernyataannya.
Masih menurut pernyataan itu, fatwa juga mengindikasikan sanksi jika dalam hasil awal pemilu menunjukkan kandidat perempuan akan menang. Fatwa ini berbahaya karena dikeluarkan oleh ulama yang bekerja sebagai penasehat presiden. Menjadikan isu ini sebagai peringatan bagi aktivitis hak asasi perempuan.
Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa fatwa bertentangan dengan konstitusi Mauritania dimana semua warga negara setara dan memiliki hak yang sama. Asosiasi juga menilai fatwa merupakan kemunduran terhadap hak perempuan.
Padahal hukum yang baru menetapkan kuota 20 persen bagi perempuan di legislatif dan dewan kotamadya. Perlu diingat bahwa tidak ada perempuan yang ikut dalam pemilihan presiden terakhir setelah satu-satunya kandidat perempuan memutuskan mundur.
Bagaimanapun, pemilu presiden sebelumnya mencatat partisipasi perempuan yang luar biasa. Kandidat presiden perempuan paling terkenal di Mauritania adalah Aisha bint Jidan yang mengikuti pemilu 2003. Ia dikenal karena slogannya yang berbunyi, "Anda sudah pernah memiliki presiden laki-laki, kenapa tidak memilih perempuan?"