REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah memberikan grasi (pengurangan hukuman) untuk terpidana kasus narkotika asal Australia Schapelle Corby ditentang banyak pihak. Bahkan, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Anti Narkoba (Granat) berencana menggugat kebijakan pemerintah itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin, gugatan yang dilayangkan oleh pihak-pihak yang menentang kebijakan pemerintah sah-sah saja. Namun, saat ditanya peluang dikabulkannya gugatan itu, Irman menjawab bahwa itu tergantung putusan pengadilan.
Irman menjelaskan, gugatan ke PTUN dikabulkan jika kebijakan itu melanggar undang-undang atau melanggar azas-azas pemerintahan yang baik. Misalnya, jika kebijakan itu tak sesuai dengan kepastian hukum dan tidak proporsional.
Menurutnya, pada kebijakan grasi Corby, pemerintah sudah mengeluarkannya dengan benar. Grasi adalah kewenangan presiden meskipun tidak proreogratif. Presiden harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung (MA) untuk mengeluarkan kebijakan grasi itu. "Kebijakan grasi Corby itu sudah meminta pertimbangan dari MA, maka itu sudah tepat," kata Irman, Jumat (25/5).
Selain itu, jika pemerintah bisa mempertanggungjawabkan kebijakan itu dan didukung dengan alasan-alasan yang tepat, maka, kata dia, akan sulit bagi PTUN untuk mengabulkan gugatan dari pihak-pihak yang menentang grasi itu.
Corby dijatuhi hukuman 20 tahun penjara serta denda Rp100 juta subsider 6 bulan penjara. Corby yang terbukti menyelundupkan ganja seberat 4 kilogram ke Indonesia itu ditahan sejak 9 Oktober 2004. Perempuan berumur 34 tahun itu menerima grasi selama 5 tahun dari Presiden SBY.