REPUBLIKA.CO.ID, Semenjak bertemu dengan Rasulullah dan beriman kepadanya, Salman Al-Farisi RA hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan selalu berbakti.
Ia pun mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar RA, kemudian di masa Amirul Mukminin Umar RA, lalu dimasa Khalifah Utsman RA, waktu di mana ia kembali kehadhirat Tuhannya.
Di tahun-tahun kejayaan umat Islam, panji-panji Islam telah berkibar diseluruh penjuru, harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan, baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam. Sehingga negara mampu memberikan gaji dan tunjangan tetap.
Maka dalam gundukan harta negara yang berlimpah ruah itu, di manakah kita dapat menemukan Salman? Di manakah kita dapat menjumpainya di saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran itu?
Bukalah mata anda dengan baik, tampaklah oleh anda seorang tua berwibawa duduk di sana di bawah naungan pohon, sedang asyik memanfaatkan sisa waktunya—di samping berbakti untuk negara—menganyam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang.
Nah, itulah dia Salman RA. Perhatikanlah lagi dengan cermat, lihatlah kainnya yang pendek, karena amat pendeknya sampai terbuka kedua lututnya. Padahal, ia seorang tua yang berwibawa, mampu dan tidak berkekurangan.
Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara 4.000-6.000 dirham setahun. Tapi semua itu habis disumbangkannya. Satu dirham pun tak diambil untuk dirinya. Katanya, “Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kubuat dan kujual tiga dirham.”
“Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk sedekah. Seandainya Umar bin Khathab melarangku berbuat demikian, sekali-kali tiadalah akan kuhentikan!”
Mengapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan, bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri? Kenapa ia menolak pangkat dan jabatan?
Katanya, “Seandainya kamu masih mampu makan tanah asal tak membawahi dua orang manusia, maka lakukanlah!”