Selasa 29 May 2012 22:16 WIB

Fikih Muslimah: Bolehkah Puasa Wishal? (2-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Puasa (ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Puasa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Demikian halnya dengan hukum puasa setahun penuh, shiyam ad-dhar. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amar, Rasulullah menegaskan bahwa tidak ada puasa yang dilakukan sepanjang tahun.

Bahkan, untuk menegaskan pelarangan itu, Rasulullah mengucapkan kalimat sebanyak dua kali, “Tidak ada puasa bagi yang berpuasa sepanjang tahun.”

Ibnu At-Tin, seperti yang diceritakan oleh Ibnu Hajar, menggunakan riwayat ini sebagai dalil tegas pelarangan puasa dhar.

Dikisahkan, suatu saat Abdurrahman bin Abu Na’im tengah berpuasa dhar, mengetahui hal itu, Amar bin Maimun berkomentar pedas yang menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap puasa dhar. “Jika para sahabat Nabi SAW melihat, niscaya mereka akan ‘merajamnya’.”

Apalagi jika puasa tersebut dilakukan oleh seorang istri, maka penekanannya akan lebih kuat. Seorang perempuan yang telah berumah tangga, ia dilarang berpuasa tanpa izin dan atas sepengetahuan suaminya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal bagi perempuan berpuasa tanpa izin suaminya, sedangkan suaminya ada.” (HR. Muttafaq Alaih).

Imam An-Nawawi menerangkan, sebagian ulama berpandangan, hukum puasa yang dilakukan seorang istri tanpa izin suami ialah makruh. Namun, pendapat yang benar ialah haram berpuasa baginya jika tak diketahui oleh pasangannya. Alasan pengharaman ialah suami berhak mengajaknya berhubungan intim, kapan pun selama dalam kondisi bersih dari haid. Dengan berpuasa, hak tersebut akan terhalangi.

Apakah puasa yang dilakukan tetap sah meskipun tanpa izin suami? Menurut mayoritas ahli fikih, puasa sunah yang dikerjakan tetap sah dengan unsur keharaman di dalamnya. Di kalangan mazhab Hanafi, cukup makruh tahrim saja. Mazhab Syafi’i mengerucutkan puasa sunah yang diharamkan adalah yang berulang-ulang sepanjang hari, seperti wishal atau puasa dhar.

Sedangkan, jika puasa tersebut tidak berturut-turut misalny puasa Arafah, Asyura atau enam hari pada Syawwal, ia boleh berpuasa tanpa izin selama tidak ada larangan dari suami. Tapi, kalau suami melarang maka tetap tidak diperkenankan puasa. Larangan ini hanya berlaku ketika suami berada di rumah, sedangkan saat suami tidak berada di rumah, tengah keluar kota, misalnya, menurut mazhab Syafi’i, tidak perlu izin.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement