REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sebanyak 98 orang, termasuk 61 warga sipil, tewas dalam kekerasan di Suriah pada Selasa, ketika bentrokan sengit antara tentara rezim dan pemberontak, kata para pemantau.
Jumlah korban seharian yang tinggi itu juga termasuk 28 anggota pasukan pemerintah dan sembilan pejuang pemberontak, kata Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, pada saat negara terperosok menuju perang saudara.
Angka ini termasuk "pembantaian," terbaru di mana 13 warga sipil tewas di wilayah Deir baratlaut, kata kepala Observatorium yang berbasis di London, Rami Abdul Rahman, kepada AFP melalui telepon.
Para korban "dieksekusi dengan peluru di kepala, menurut laporan pertama dari daerah," katanya. Dia mendesak para pengamat PBB di lapangan untuk segera menyelidiki dugaan kekejaman dan mengidentifikasi para pelaku.
Kekerasan terbaru itu terjadi pada saat utusan khusus internasional Kofi Annan mendesak Presiden Suriah Bashar al-Assad untuk "bertindak sekarang" mengakhiri 15 bulan pertumpahan darah.
Annan juga memperingatkan bahwa negara telah mencapai "titik kritis" pada saat pemerintah Barat memerintahkan para diplomat pentingnya keluar dari negara itu.
Perintah pemulangan yang tampaknya terkoordinasi dan dikeluarkan oleh Uni Eropa, Amerika Serikat dan pemerintah-pemerintah lainnya, termasuk Australia, Kanada dan Swiss, sebagai tanggapan terhadap pembunuhan sedikitnya 108 orang, hampir separohnya anak-anak, selama serangan oleh pasukan pro-pemerintah di Houla pekan lalu.
Sebagian besar kekerasan Selasa berupa pengeboman atau bentrokan antara tentara Suriah dan pasukan pemberontak, kata observatorium Suriah.
Lebih dari 13.000 orang tewas, kebanyakan warga sipil, sejak
pemberontakan terhadap rezim Bashar meletus pada Maret tahun lalu, kata pengamat HAM Suriah yang berbasis di Inggris itu