REPUBLIKA.CO.ID, Dikisahkan, ketika tiba di Yerusalem, Khalifah Umar mengunjungi tempat-tempat suci umat Nasrani, salah satunya adalah Gereja Holy Sepulchre.
Saat sedang berada di gereja ini, waktu shalat umat Islam pun tiba. Uskup Sophorius pun mempersilakan Umar untuk shalat di tempat ia berada, tapi Umar menolaknya.
Umar mencontohkan perilaku Rasulullah SAW dan keterangan Alquran, yang menjelaskan, ''Bagi kamu agamamu dan bagi kami agama kami.'' (QS. Al-Kafirun: 6).
''Andai saya shalat dalam gereja, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah masjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre,'' tolak Umar halus.
Ia pun pergi dan mendirikan shalat di tempat yang agak jauh dari gereja, namun lokasinya berhadapan langsung dengan Holy Sepulchre.
Di lokasi tempat Umar mendirikan shalat ini, kemudian dibangun sebuah masjid kecil yang memang dipersembahkan untuk sang khalifah. Bangunan masjid tersebut menjadi cikal bakal Masjid Kubah Batu (Qubbatus Sakhrah, the Dome of The Rock).
Selanjutnya, ekspedisi Islam dilanjutkan ke wilayah sekitar Yerusalem. Panglima Yazid bin Abu Sufyan dengan mudah menaklukkan Gaza, Askalon, dan Caesarea (daerah-daerah yang berada di wilayah Palestina).
Palestina di bawah kekuasaan Islam saat itu, berkembang menjadi sebuah wilayah yang multikultur. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi yang berdiam di wilayah Palestina pada masa itu hidup berdampingan secara damai dan tertib.
Sejak awal menaklukkan wilayah Palestina, penguasa Islam tidak pernah memaksakan agamanya kepada penduduk setempat. Mereka tetap diperbolehkan menganut keyakinan lama mereka dan diberi kebebasan beribadah.
Sejalan dengan pergantian dinasti yang memerintah, Palestina berturut-turut berada di bawah berbagai kekuasaan mulai dari Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Seljuk, Dinasti Fathimiyah, kaum Salib Eropa, Dinasti Mamluk, dan Turki Usmani. Yang terakhir ini menguasai Palestina selama dua abad (1516-1917).