REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Undang-Undang 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. UU ini memuat 62 pasal yang mengatur tentang penanganan konflik sosial yang dilakukan melalui tiga tahapan. Yakni pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca-konflik.
Seperti dikutip dari situs www.setkab.go.id dijelaskan UU 7/2012 menegaskan penanganan konflik harus mencerminkan asas: kemanusiaan; hak asasi manusia; kebangsaan; kekeluargaan; kebhineka tunggal ikaan; keadilan; kesetaraan gender; ketertiban dan kepastian hukum; keberlanjutan; kearifan lokal; tanggung jawab negara; partisipatif; tidak memihak; dan tidak membeda-bedakan.
Dalam UU tersebut disebutkan pemerintah dan Pemda berkewajiban meredam potensi konflik dalam masyarakat, dan membangun sistem peringatan dini untuk mencegah konflik atau perluasan konflik di daerah yang sedang terjadi konflik melalui media komunikasi.
Dalam hal konflik telah terjadi, menurut UU, penghentian bisa dilakukan dengan penggunaan tindakan kekerasan fisik; penetapan status keadaan konflik; tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban; dan/atau bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.
Namun UU ini juga menegaskan, dalam hal dilakukan tindakan kekerasan fisik, harus dikoordinasikan dan dikendalikan Polri; melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat; dan harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Mengenai bantuan TNI, ditegaskan dalam status keadaan konflik skala kabupaten/kota, bupati/walikota dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada Pemerintah. Sedangkan untuk skala provinsi, gubernur meminta bantuan penggunaan TNI kepada Pemerintah. Untuk skala nasional pengerahan TNI dilakukan dengan lebih dulu dilakukan konsultasi oleh Presiden kepada DPR.