REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi sayap parpol dinilai berpotensi menyebabkan konflik sosial. Mereka kerap bergesekan dengan masa pendukung di luar parpolnya. Potensi konflik kerap tidak dapat dibendung ketika Pemilu di tingkat nasional dan daerah akan digelar.
"Saya berharap organisasi sayap tidak perlu ditambah. Yang ada saja sudah cukup," jelas Pakar Politik UIN Syarif Hidayatullah, Saiful Umam, saat dihubungi, Jumat (1/6). Menurutnya, organisasi sayap menjalani fungsi pengondisian menuju pemenangan anggota parpol tertentu pada saat pemilu digelar.
Sejumlah pengondisian yang dilakukan adalah perekrutan basis massa. Jika hal ini tidak dibarengi dengan transformasi pengetahuan yang berkaitan dengan toleransi berpolitik dan juga sikap inklusif, maka nantinya massa bisa tidak terima dengan hasil pemilu yang memenangkan parpol sesuai dengan perolehan suara. "Yang muncul kemudian adalah sikap brutal yang membabi buta. Kantor KPU di daerah dirusak. Ini sudah sering terjadi," imbuhnya.
Saiful menyatakan yang ditanamkan kepada massa bukanlah pengetahuan mengenai keterbukaan, tetapi fanatisme sektoral. Ketika apa yang difanatikkan kalah, muncullah sikap brutal. "Hukum rimba akhirnya yang berbicara. Ini berbahaya," paparnya.
Pihaknya berharap agar pihak parpol melakukan pendidikan politik yang berkualitas kepada masyarakat. Persoalannya, jelas Saiful, bukan masalah menang atau kalah, tetapi mengokohkan pilar demokrasi kebangsaan. Masyarakat diharapkannya memahami bahwa demokrasi adalah keterbukaan, transparansi, dan saling menghargai, bukan saling menyerang dengan brutal.