BILA CINTA MENCARI CAHAYA
Judul Buku: Bila Cinta Mencari Cahaya (Pemenang Lomba Novel Republika 2012)
Penulis: Harri Ash-Shiddiqie
Penerbit: Republika
"Mungkinkah seseorang disebut muslim bila ia tidak pernah berjuang menegakkan islam? Lari dari perjuangan menegakkan Islam?"
Hidup selalu penuh perjuangan, susah dan senang itulah warna dalam kehidupan. Ketika jilbab menjadi permasalahan dalam melamar suatu pekerjaan, saat itulah niat dan keteguhan hati diuji, apakah mundur atau tetap memperjuangkan keyakinan.
Izza, nama tokoh dalam cerita ini, seorang muslimah berjilbab yang melamar pekerjaan pada sebuah perusahaan perkebunan teh. Siapa disangka, di sana ada peraturan dilarang memakai jilbab. Tapi, kepandaian dan kelebihan lainnya membuat ia tetap diterima bekerja di perkebunan teh tersebut. Diterima tapi dibuat tidak akan betah oleh beberapa orang yang tidak menyukainya, di sanalah perjuangan itu dimulai.
Pemandangan dan keindahan kebun teh, serta hawa yang menyejukkan membuat setiap orang yang pernah mengenal Desa Cicamara langsung jatuh hati. Inilah yang menjadi sebab kenapa seorang Izza, lulusan perguruan tinggi di kota, mau tinggal dan kerja di daerah yang jauh dari keramaian. Selain itu, ada keterikatan kenangan keluarga yang dicintainya pada daerah itu.
Mulai awal bekerja di sana, Izza dibuat tidak betah oleh salah satu anak pemilik kebun, karena Izza bertemu secara tidak sengaja saat boss-nya tersebut bersama istri keduanya. Teror demi teror dihadapinya, Izza banyak mencurahkan rasa dan air mata kepada Ibu Nita, komisaris pemilik perusahaan. Ibu Nita sudah menganggap Izza seperti anaknya sendiri, karena mengingatkan ia dengan putrinya yang sudah tiada.
Selain bercerita tentang keindahan alam perkebunan, penulis juga sangat detil menceritakan bagaimana kehidupan buruh pemetik teh hingga soal memasak makanan hingga bumbunya.
Nilai lebih dari novel ini, banyak sekali ilmu tentang agama yang disampaikan dengan cara bercerita seperti dalam salah satu obrolan, ibu Nita bertanya apa arti kebahagiaan. Izza menerangkan ada beberapa tingkat kebahagiaan menurut Ibnu Miskawaih, "tingkat kebahagiaan yang paling rendah yaitu kebahagiaan harta karena harta membuat manusia rakus, lalu menindas manusia lainnya. Tak ada moral. Tak ada ketenangan dan kedamaian, Tingkat bahagia lebih tinggi yaitu bahagia berakal dan berilmu. Setiap informasi adalah ilmu. Alquran selalu merujuk bahwa orang-orang berilmu adalah orang yang berpikir, yang tidak tertutup hatinya, dan yang mengetahui. Boleh jadi seseorang tidak bersekolah tinggi, ia memiliki informasi bahwa Muhammad utusan Allah, itu ilmu. Disertai hati terbuka, ia tunduk, ia berserah diri, dan ia bisa berbahagia."
Ketika Izza ikut memprakarsai berdirinya Taman Pendidikan Alquran di tengah teror yang menghampirinya, hatinya ingin segera pergi meninggalkan Cicamara. Tetapi ketika ia dingatkan oleh Ki Ganda mengenai ayat Alquran (QS 22:40), "Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama-Nya)," hatinya terasa terbang dan dadanya bergetar.
Penulis juga membahas permasalahan yang biasa dihadapi para wanita dalam mencari jodoh, yaitu kriteria suami yang diharapkan bisa menjadi pemimpin dan bersama dalam perjuangan dakwah. Izza ragu akan tawaran pinangan keluarga Purnomo, walaupun ia menyukai pria itu. Ada hal yang memberatkan hatinya, "Purnomo lahir dan besar dalam keluarga yang menjujung tinggi tradisi yang tidak Islami. Apakah Purnomo terbuka terhadap perubahan? Bila nenek moyang terdahulu melakukan adat itu dengan kesyirikan, generasi penerus yang menirunya syirik juga."
Bagi yang menyukai happy ending, mungkin kecewa karena novel ini tidak menyelesaikan akhir cerita. Penulis mungkin menginginkan pembaca dapat menyelesaikan sendiri dengan pikiran masing-masing. Tapi secara keseluruhan, novel ini layak dibaca dan pantas mendapat juara dalam lomba novel Republika. Karena, ada sesuatu yang ingin disampaikan, tidak hanya sekadar cerita. Ada ilmu yang bermanfaat dan juga berbagi semangat, bahwa berjalan di jalan Allah itu adalah suatu perjuangan yang kelak akan menghantarkan kepada kebahagiaan yang hakiki.
Yulia Chairani Anwar