Ahad 03 Jun 2012 06:00 WIB

Aksara yang Merangkum Rindu

Novel Lontara Rindu
Foto: Fauziyyah Arimi
Novel Lontara Rindu

Judul Buku: Lontara Rindu

Peresensi: Fauziyyah Arimi

Penulis: S Gegge Mappangewa

Penyunting: Priyantono Oemar dan

Penerbit: Republika

Cetakan: I, April 2012

Tebal: viiii + 342 halaman

Dengan judul "Lontara Rindu", tanpa perlu terlebih dahulu mengerti arti "lontara", kita sebagai pembaca pasti menebak novel ini bernafas rindu. Dalam hari-hari Vito, nafas rindu itu bergemuruh. Nafas rindu untuk ayah dan saudara kembarnya. Bila lema rindu dalam judul mengisyaratkan gemuruh rindu Vito, lantas lema lontara mengisyaratkan apa?

Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis. Aksara tersebut ditulis di daun lontar dengan lidi atau batang ijuk lalu digosok dengan arang hingga berbekas. Pun lontara diartikan sebagai kitab oleh penganut Talotang. Maka lontara rindu bila dikaitkan dengan cerita Vito dalam novel ini adalah aksara yang merangkum kerinduan. Selebihnya, lontara merangkum cerita rakyat dahulu yang sarat moral dalam pengaplikasiannya. Dalam novel ini kita akan menikmati keduanya, baik itu aksara yang merangkum rindu maupun aksara yang merangkum cerita rakyat dan apa-apa yang terasa sakral bagi masyarakat Bugis dahulu –hingga kini.

Enam tahun berlalu sejak kepergian ayah dan saudara kembarnya, Vito menanggung rindu. Enam tahun berlalu dan kini rindu itu memilu. Rindu yang berproses seiring dengan masa pubertasnya sebagai remaja belia, menempa kedewasaan bagi emosinya. Perlahan, takdir Allah menggerakkannya untuk melabuhkan rindu itu segera, dan nanti rindu itu bermuara di Samarinda.

Dengan gaya penceritaan maju-mundur, dalam kisah kerinduan Vito terselip kisah kedua orangtuanya –Ilham dan Halimah. Gejolak dalam cerita asmara mereka yang ternyata terbentur pada perbedaan. Beberapa fragmen dalam kisah mereka menampilkan saratnya tradisi masyarakat Bugis pada umumnya. Di antaranya adat berkaitan momentum pernikahan masyarakat Bugis. Belum lagi tentang Talotang, sebuah aliran kepercayaan yang muasalnya diceritakan penulis dalam prolog novel ini. Kisah tentang Talotang ini masih dalam orbit cerita yang melibatkan Vito, ayahnya, dan kembarannya.

Mengambil porsi yang tak kalah besar dari kisah kerinduan Vito dan kisah kedua orangtuanya, adalah kisah sembilan anak usia remaja belia yang menjadi penghuni sebuah SMP baru di Panca Lautang. Tujuh murid laki-laki dan dua murid perempuan. Dibersamai pertumbuhannya dengan pak Amin, seorang guru penjas yang menjelma menjadi guru kehidupan yang menempa kedewasaan mereka dengan pelajaran dari lontara kisah terdahulu.

“..takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur.” –Nenek Mallomo

Satu dua kebersamaan Pak Amin dan murid-muridnya adalah tentang kebesaran Nenek Mallomo, seorang cendekiawan Muslim Bugis. Didongengkannya kisah Nenek Mallomo oleh Pak Amin kepada murid-muridnya bukan tanpa sebab. Kemarau yang dulu pernah terjadi saat nenek Mallomo masih hidup, terulang kembali. Pak Amin menggiring muridnya untuk mampu membaca kearifan alam yang erat kaitannya dengan perilaku manusia. Tak hanya perilaku manusia yang merusak, tapi masalah moral. Dulu, sumber kemarau adalah ketidakjujuran salah seorang masyarakat. Kini, beratus tahun berselang dan kemarau panjang kembali menyerang, adakah penyebabnya maksiat?

Kadang kita terlalu sombong untuk mengiyakan bahwa maksiat personal (maupun masif) bisa menjadi penyebab suatu bencana. Kita lebih memilih mengiyakan human error tapi jarang sekali yang mau mengakui bahwa musibah tersebut bisa jadi adalah buah maksiat kita. Padahal, bila kita beriman, kaitan moral dengan musibah bisa erat hubungannya. Bukankah Allah telah menunjukkannya melalui kisah Nabi Nuh? Inilah yang mungkin juga hendak disampaikan penulis.

"Bumi semakin renta, azab pun semakin beragam. Tapi, tak semua orang bisa membacanya. Haruskah badai Nuh datang lagi? Karena, zaman telah mengukir tuhan yang lebih banyak dibandingkan zaman Nabi Nuh. Bedanya, tuhan-tuhan zaman kini tak bernama seperti Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr yang populer sebagai tuhan di zaman Nuh." –halaman 167

Kembali kepada kisah Pak Amin dan laskarnya, sembilan remaja belia itu memahami pesan-pesan yang disampaikan Pak Amin tetapi salah gerak dalam mengeksekusi. Sehingga timbulah konflik lain yang menyeret Pak Amin. Sosok Pak Amin, dari bagian tengah novel hingga bagian akhir, adalah tokoh yang banyak diceritakan. Irisan lain dari novel ini yang tentunya tak bisa ditinggalkan kisahnya.

Dengan begitu lancar, penulis menghidupkan lingkungan masyarakat Bugis. Menyisipkan penggambaran ritual hari raya Talotang yang digelar di Perrinyameng tiap Januari dan menjadi tujuan wisata setempat. Pun seluk beluk Sidenreng Rappang terhampar seolah nyata, begitu familiar karena ternyata penulis sendiri besar di sana. 

Sebagai penulis yang sebelumnya telah banyak melahirkan karya, teknis penceritaan tidak perlu dipertanyakan. Bila bagusnya sebuah novel adalah keberhasilan novel tersebut mengalir dalam benak pembaca selama membacanya, maka novel ini termasuk bagus dan patut dibaca. Apalagi berserak hikmah dari orisinalitas nilai yang diajarkan melalui hikayat rakyat zaman dahulu. Lagi, buku ini masuk ke dalam daftar novel yang mengangkat unsur lokalitas semacam tetralogi Laskar Pelangi, Lampuki atau Tanah Tabu yang mulai banyak diminati.

Sayangnya, setidaknya dua hal yang sedikit mengganggu saya selama membaca novel ini. Pertama, inkonsistensi penulis dalam penggunaan "saya" sebagai kata ganti. Seperti: 

Saya benar-benar heran. Mengapa tak satu pun orang termasuk mamaku, yang mau memberiku kejelasan tentang ayahku,” –Vito.

Saya tak menemukan Vino saat bertemu ayahmu karena saya bertemu di kantornya. Dulu saya punya nomor hape-nya, tapi hape-ku pernah tercecer dan kehilangan semua nomor di dalamnya.” –Pak Saleng. 

Saya sering mengajak bayanganku bercerita saat bercermin, karena menurut mamaku kemarin dan dari foto yang pernah kulihat, saya dan Vino hampir pasti tidak bisa dibedakan hanya dengan melihat sekilas.” –Vino. 

Cukup sering saya menemukan inkonsistensi semacam itu (di tokoh-tokoh berbeda). Tapi keberatan ini, mungkin memang bersifat personal dan selera. 

Kedua, pilihan penulis menghadirkan banyak tokoh menjadi nilai tambah sekaligus kerawanan tersendiri. Nah, kerawanan ini terbukti karena beberapa tokoh yang mungkin dimaksudkan penulis sebagai tokoh pembantu, peranannya kurang melengkapi. Seperti tokoh Bu Maulindah yang menjadi pembuka novel ini tapi akhirnya eksekusi menghilangnya tokoh ini dari alur cerita terasa kurang apik. Pun ketika menaikkan cerita tentang Arif. Penceritaannya beranjak, dan mulanya saya pikir Arif pun mendapat porsi sedikit lebih daripada tujuh anak lainnya, tapi ternyata tidak. Dalam hal ini, klimaks kehadiran cerita tentang Arif terasa tanggung.

Dari cerita dan kefasihan penulis mengangkat kebudayaan daerah asalnya sendiri, novel ini tersaji dengan begitu baik. Menjadi bacaan yang bisa diseriusi siratan reflektifnya yang mengajak berkaca atas hubungan kita dengan alam dan pencipta semesta. Bisa pula menjadi bacaan yang dinikmati kejenakaannya melalui polah sembilan remaja belia yang diwakili oleh karakter Vito yang aktif. Bahkan menjadi bacaan yang sarat wawasan, bagi pembaca yang kerap meminta "kekayaan" dari buku yang dibacanya.

Selamat membaca.

Fauziyyah Arimi

Kemang Timur XV No.6 RT.010/03 Kel.Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan

Facebook: Fauziyyah Arimi │ Twitter: @faraziyya

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement