Seperti halnya dengan model alurnya yang agak melompat-lompat di bagian awal hingga pertengahan kisah, demikian pula dengan cara saya membaca buku setebal 342 halaman ini. Lontara Rindu. Sebuah novel karya S. Gegge Mappangewa yang menyabet gelar novel terbaik tahun 2012 pada lomba novel Republika.
Mengusung tema cinta dalam maknanya yang universal, novel ini cukup menarik untuk dibaca. Ditambah lagi setting cerita yang unik yaitu di sebuah daerah di Sulawesi Selatan, Sidenreng Rappang, atau saya lebih mengenalnya dengan sebutan Sidrap.
Sebelum tiba di pertengahan buku, cerita bergulir bergantian antara kisah Vito dengan kisah ibunya, Halimah. Vito adalah seorang remaja tanggung, seorang anak lelaki Sekolah Menengah Pertama berumur 13 tahun yang memiliki saudara kembar namun karena permasalahan di antara kedua orang tuanya maka mereka terpisah sejak bayi. Vino, demikianlah nama kembaran Vito.
Menarik menganalisa pilihan penulis atas tokoh utama yang diceritakan memiliki kembaran. Mengapa? Terlepas dari kenyataan bahwa --memang tokohnya harus kembar--, hal tersebut dilakukan seolah hendak menyingkap dalam samar salah satu mitos masyarakat setempat bahwa setiap bayi yang lahir memiliki "saudara kembar". Hal itu menjadi satu kekuatan tersendiri dari sisi karakter tokoh yang berkesinambungan dengan usaha penulis mempromosikan kebudayaan lokal di Sulawesi Selatan.
Selain mengisahkan mengenai aktivitas harian Vito, di rumah, tentang kedekatannya bersama sang kakek, juga di sekolah, tentang interaksinya bersama kawan-kawan sekelasnya dan juga Pak Amin, sang guru Penjas yang cukup sentral perannya dalam novel ini. Bab-bab awal juga banyak menceritakan tentang Halimah. Ibu dari kembar Vito dan Vino ini memiliki masa lalu yang sangat menarik. Jujur saja, ketimbang menyimak kisah Vito saya lebih tertarik membaca kisah Halimah. Maka seperti yang saya ungkapkan di awal, saya membaca dengan cara melompat bab-bab awal novel demi merangkum utuh cerita mengenai Halimah.
Saya cukup sering menghadiri pesta pernikahan adat Bugis, jadi membayangkan Halimah melarikan diri dari seremonial semacam itu seperti yang dikisahkan dalam salah satu babnya rasanya sungguh menegangkan. Ya, Halimah melarikan diri dari pesta pernikahannya demi mengejar cintanya yang tertambat pada seorang lelaki bernama Ilham. Menyisakan aib yang begitu besar bagi keluarganya. Namun, bila Halimah tak nekat berarti takkan ada Vito dan Vino karena dari pernikahannya dengan Ilham lahirlah tokoh kembar tersebut.
Mengapa orang tua Halimah tak menyetujui Ilham sebagai pilihan hatinya? Adalah alasan yang sangat prinsipal, perbedaan keyakinan. Awalnya saya tidak mengerti, perbedaan prinsip seperti apakah gerangan yang dimaksud? Rupanya Ilham adalah penganut Tolotang, sebuah kepercayaan tradisional yang masih hidup di sana yang bertentangan dengan keyakinan yang dianut Halimah.
Konflik terus berlanjut dari sana. Setelah menikah dengan Ilham, lahirlah kembar Vito – Vino. Namun alih-alih hidup bahagia bersama, pasangan Halimah – Ilham justru berpisah. Ilham memang mengakui telah berubah keyakinan ketika menikahi Halimah, namun pada kenyataannya jauh panggang dari api. Setelah kehadiran si kembar, justru Ilham pergi meninggalkan Halimah dengan membawa salah satu kembar, Vino. Maka sejak itulah, Halimah – Vito terpisah dengan Ilham – Vino.
Inti dari Lontara Rindu sesungguhnya adalah masalah tersebut. Sebuah kisah kerinduan seorang bocah, akan keutuhan sebuah konsep bernama keluarga. Bagaimanapun ceritanya, pada akhirnya "darah selalu lebih kental dari air". Telah demikian lama Vito berusaha mengorek keterangan mengenai sang ayah dan tentunya sang saudara kembar. Namun siapa pun yang ia tanyai, baik orang yang pernah mengenal mereka, kakeknya apalagi ibunya, semua mengunci mulut, menutup rapat-rapat informasi mengenai keberadaan mereka.
Hingga pada suatu ketika, Vito dengan nekat mendatangi sebuah acara perayaan hari besar para penganut Tolotang, di Perrinyameng, Amparita, sebuah tempat yang cukup dekat dengan kampung Vito. Di mana menurut kabar, pada perayaan itu seluruh penganut Tolotang di mana pun berada diharuskan hadir dan berkumpul di sana. Sebuah kesempatan yang sangat besar bagi Vito untuk dapat bertemu dengan ayah dan kembarannya.
Namun sayang sungguh sayang, rupanya kedua orang yang dicarinya tak muncul di sana. Namun, Vito memperoleh sedikit informasi bahwa keduanya kini berdomisili di Samarinda. Sebersit harap muncul dalam hati Vito. Bila penganut Tolotang sampai tak hadir dalam perayaan tersebut, berarti salah satu kemungkinan penyebabnya adalah karena mereka sudah tak meyakini ajaran itu!
Cerita terus bergulir hingga nyaris menuju akhir. Dikisahkan bahwa seorang utusan ayah Vito, memerintahkan menjemput Vito untuk menemuinya. Tanpa pamit kepada satu pun penduduk kampung, Vito menuruti keinginan sang penjemput, pergi ke Banjarmasin! Tentunya meninggalkan seribu macam kecemasan di seantero kampung terutama bagi sang ibu, Halimah.
Mengikuti "pelarian" Vito menuju Banjarmasin, tersemai begitu besar harapan saya sebagai seorang pembaca yang menyukai a very-happy ending, sebesar harapan Vito untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarganya dan hidup bahagia selamanya. Namun sayangnya, harapan itu pupus ketika Vito mendapati kenyataan bahwa ayahnya menderita sakit yang begitu parahnya hingga seluruh kesadarannya hilang.
Bahkan, hingga Vito berpamitan pulang untuk kembali kepada ibunya pun, sang ayah tak jua sadar. Sungguh tragis. Namun setidaknya satu hal yang melegakan adalah bahwa Ilham sungguh telah meninggalkan ajaran Tolotang.
Meskipun lagi-lagi, sebagai pembaca saya sedikit patah hati, selain karena Ilham yang tak sadar, juga seorang wanita kini telah mendampingi Ilham. Saya jadi membayangkan perasaan hati Halimah yang terdalam jika mendengar berita tersebut. Untungnya novelnya telah mencapai ending sebelum Vito dikisahkan tiba kembali ke kampungnya dan bertemu Halimah.
Marisa Agustina