REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia mencatat nilai utang luar negeri perbankan mencapai 3,6 miliar dolar AS. Sementara nilai utang luar negeri swasta, termasuk perbankan yang didapat dari Eropa mencapai 7 miliar dolar AS.
Meski demikian, eksposur utang luar negeri tersebut dinilai belum signifikan memengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah. “Utang luar negeri tidak banyak, jadi tidak terlalu pengaruh (ke nilai tukar rupiah), “ ujar Deputi Direktur Departemen Internasional Bank Indonesia, Tirta Segara, akhir pekan lalu.
Nilai utang luar negeri tersebut merupakan utang yang belum ditarik ke Eropa. Karena itu, keberadaan utang tersebut dinilai masih aman untuk nilai tukar rupiah. “Utang ini kemungkinan susah ditarik juga karena menjadi likuiditas di sana, “ ungkap Tirta.
Likuiditas valas di dalam negeri, lanjut Tirta, akan aman dengan ditambah adanya kesepakatan Chiang Mai Initiative. Dalam kesepakatan tersebut, BI bisa mendapatkan likuiditas hingga 11,9 miliar dolar AS melalui mekanisme swap. “Dari sisi likuiditas aman, dana itu bisa ditarik sebagian dulu, “ ujar Tirta.
Chiang Mai Initiative beranggotakan negara ASEAN, Jepang, Cina, serta Korea Selatan (ASEAN+3). Tujuan dari Chiang Mai Initiative ini untuk mengatasi masalah dalam neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek di kawasan. Kesepatan tersebut telah berlaku sejak 24 Maret 2010.
Likuiditas dari Chiang Mai Initiative tersebut belum digunakan oleh BI. “Kami akan siapkan itu sebagai payung (untuk atasi likuiditas valas), “ ujar Tirta. Penarikan dana dari Chiang Mai Initiative dinilai masih aman untuk ekonomi domestik karena rasio utang Indonesia masih di sekitar 26 persen.