REPUBLIKA.CO.ID, Para penggiat kampanye memperkirakan lebih dari 70 persen wanita Mauritania menjalani operasi pengangkatan genital sebagian atau keseluruhan untuk alasan-alasan non-medis.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan tidak ada keuntungan kesehatan dari praktik tersebut dan banyak konsekuensi yang berpotensi merusak, mulai dari rasa sakit yang teramat sangat dan kehilangan banyak darah hingga infeksi berulang, infertilitas, dan peningkatan risiko komplikasi dalam melahirkan.
Sebagian besar kaum wanita Mauritania melakukan praktik khitan ini untuk alasan kultural dan sosial. Dan, banyak di antara mereka yang meyakini bahwa praktik tersebut memiliki dukungan dalam ajaran Islam.
Seorang profesor hukum di Universitas Nouakchott mengatakan bahwa fatwa bersama itu akan banyak mengurangi terjadinya praktik operasi pengangkatan genital wanita di Mauritania yang mengatasnamakan agama tersebut.
Namun, sejumlah pihak memperingatkan bahwa sebuah kampanye publisitas akan dibutuhkan jika ingin pesan fatwa itu menyebar ke wilayah-wilayah di mana praktik ini masih jamak dilakukan.
Dari sudut pandang syariah, khitan wanita masih menjadi isu kontroversial di antara para cendekiawan Muslim dan bahkan para dokter. Cendekiawan Muslim terkenal, Syekh Yusuf Al-Qardhawi, mengatakan opini paling moderat dan kemungkinan paling benar dalam praktik khitan secara Islam ada dalam beberapa hadis Nabi, meskipun sebagian dari hadis-hadis tersebut tidak dapat dipastikan kesahihannya.
Negara-negara Muslim sendiri sebenarnya berbeda pandangan mengenai persoalan khitan wanita ini. Beberapa negara mendukungnya, sementara yang lain tidak. Bagaimanapun, praktik itu bukan sebuah kewajiban dalam ajaran Islam.
Siapa pun yang merasa itu penting bagi anak wanitanya, harus melakukannya. Namun, bagi siapa pun yang memilih untuk tidak melakukannya, tidak akan dianggap berdosa karena itu dimaksudkan untuk menghargai kaum wanita.