REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON - Lelang harta karun yang dieksplorasi dari perairan Cirebon, diprotes keras Sultan Sepuh XIV, Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat. Apalagi, lelang itu dilakukan di Singapura dan hanya menghasilkan uang sekitar Rp 700 miliar.
Sultan pun mempertanyakan itikad Pemerintah Pusat terhadap konsep budaya Indonesia. "Harta karun itu punya nilai sejarah yang tinggi," kata Arief di Cirebon, Kamis (7/6).
Karena itu, lanjut Arief, harta karun tersebut disebut benda cagar budaya. Jika demikian, maka benda cagar budaya tidak boleh lepas ke luar negeri. "Apapun alasannya, siapapun pemiliknya, entah Pemerintah atau swasta, benda cagar budaya Indonesia harus tetap di Indonesia," tegas Arief.
Tak hanya itu, tambah Arief, benda cagar budaya Indonesia sudah selayaknya dimiliki negara sendiri. Menurut dia, tidak ada pembenaran, termasuk bagi pihak swasta manapun untuk melelang kekayaan khazanah budaya tanah air ke luar negeri.
Arief menyatakan, harta karun tersebut memiliki kaitan yang erat dengan sejarah Indonesia, terutama Kesultanan Cirebon. Kapal karam yang berasal dari abad X itu memuat peradaban Cina, Arab, dan Persia. Diduga dalam kapal itu terdapat pula peradaban Islam. Sedangkan pada abad X, di Cirebon berdiri kerajaan Indraprahasta (pra-Islam).
Menurut Arief, jika benda-benda itu sampai dijual di luar negeri, maka masyarakat Indonesia akan kesulitan menelusuri sejarahnya sendiri. Pasalnya, masyarakat Indonesia harus pergi ke luar negeri untuk melihat jejak sejarah yang dialami bangsanya di masa silam.
Lebih lanjut Arief pun mempertanyakan itikad Pemerintah terhadap konsep budaya Indonesia. Jika alasannya hanya karena uang, maka nilai Rp 700 miliar terlalu kecil jika dibandingkan dengan nilai sejarah dan budaya yang ada dalam harta karun tersebut.
"Sesuatu yang naif kalau negara mencari uang Rp 700 miliar dengan menjual sejarah dan budaya," ujar Arief.
Menurut Arief, apabila benda cagar budaya itu dimuseumkan di Indonesia, maka akan dapat mendatangkan uang yang lebih besar dari Rp 700 miliar. Uang tersebut diperoleh dari kunjungan wisatawan ke museum itu.
Sultan pun akan menuntut penjelasan dari Pemerintah Pusat. Terutama dari Kementerian Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun duta besar RI di Singapura. Bahkan, pihaknya juga berencana akan melayangkan nota protes.
Terpisah, Ketua DPRD Kota Cirebon Nasrudin Azis juga menyayangkan tindakan Pemerintah Pusat yang melelang harta karun tersebut. Pihaknya pun menyambut baik langkah Sultan Arief yang berencana melayangkan nota protes.
Seperti diberitakan, harta karun itu ditemukan dari kapal yang karam di kedalaman 50–70 meter perairan Blanakan, Kabupaten Subang. Lokasi tersebut masuk dalam wilayah perairan Cirebon. Diperkirakan, kapal dan muatannya itu berasal dari abad X.
Dari kapal karam tersebut, ditemukan harta karun yang spektakuler. Tak hanya dari segi kuantitas, namun juga kualitas barang dan nilai sejarahnya. Selain berbagai jenis keramik, adapula logam, emas, perak, gerabah, manik-manik, gading, kayu, dan kaca. Benda-benda yang jumlahnya mencapai 272.810 buah itu diperkirakan berasal dari peradaban Arab, Persia, dan Cina.
Temuan itu merupakan hasil pengangkatan yang dilakukan Cosmix Underwater Research Ltd, dengan mitra lokalnya, PT Paradigma Putera Sejahtera. Mereka mendapatkan izin melakukan ekplorasi dan pengangkatan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) pada 2004-2006.
Penemuan tersebut tak hanya berhenti sampai disitu. Di sekitar perairan yang sama, kembali ditemukan 2.378 buah keramik jenis mangkok dan piring yang diperkirakan berasal dari Dinasti Ming. Selama ini, keramik jenis itu belum pernah ditemukan.
Mangkok dan piring kuno tersebut merupakan hasil penyitaan dari kegiatan pencarian harta karun secara ilegal. Harta karun itu ditemukan di dua kapal layar motor (KLM) Alini Jaya dan KLM Asli yang sudah ditinggal kabur awaknya, sekitar Juni 2009 lalu.
Namun, dari semua benda yang ditemukan itu, hanya 976 yang ditetapkan sebagai koleksi negara. Sedangkan sekitar 271.834 buah dilelang.
Proses lelang pertama kali digelar di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Mei 2010. Namun, saat itu proses lelang berjalan tanpa ada peminat dan tak ada penjualan. Karenanya, pihak panitia melakukan lelang kedua di Singapura.