REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum tatanegara Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai, gugatan grasi Schapelle Leigh Corby di Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai bentuk protes publik kepada kebijakan presiden. Bahkan, aksi protes juga bergeser ke wilayah politik, dengan adanya upaya hak interpelasi para politisi di DPR akibat grasi yang diberikan kepada warga Australia itu.
"Orang tidak menerima pilihan presiden yang menjatuhkan grasi. Di hukum ada PTUN dan DPR ada interpelasi," ungkap Saldi saat dihubungi Republika, Jumat (8/6).
Menurutnya, sikap presiden yang memberikan grasi kepada Corby tidak konsisten. Ketika pemerintah mengklasifikasikan kejahatan narkoba sebagai kejahatan luar biasa seperti korupsi dan terorisme, tuturnya, malah memberikan keringanan bagi seorang terpidana narkoba.
Selain itu, grasi tersebut dinilai bakal menjadi beban presiden di masa depan. Ketika ada terpidana mati perkara narkoba lainnya yang meminta grasi, tuturnya, maka Corby akan menjadi acuan. "Mengapa Corby dikasih dan dia tidak, padahal Corby kan warga negara asing," tegasnya.
Meski demikian, Saldi mengungkapkan aturan grasi dalam Undang-Undang Dasar 45 tidak perlu diamandemen. Menurutnya, cukup kebijakan presiden yang diubah. "Ini untuk pertamakalinya presiden takluk kepada permintaan asing. Dulu-dulu kan tidak ada," tegasnya.