REPUBLIKA.CO.ID, “Saya akan selalu sayang pada Kak Bila dan teman-teman walaupun kita berbeda agama. Mengapa harus ada rusuh lagi.”
Kutipan pesan pendek via seluler itu diterima Nabilla Sabban, belum lama seusai ia menginjakkan kaki di Bradford Inggris, pertengahan September 2011. Pesan dari Pengky (17) membuatnya miris dan menitikkan air mata.
Bagaimana tidak sedih, selama setahun Nabilla bersama teman-temannya dari Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdlatul Ulama (Lakspesdam-NU) berupaya keras menyatukan kembali anak-anak Islam dan Kristen di Ambon. Mereka bisa bersatu, bercampur-baur tanpa mengenal perbedaan, tanpa ada permusuhan.
Namun, 11 September lalu (2011), konflik itu kembali pecah. Dari SMS itu, Nabilla bisa merasakan betapa anak-anak Ambon mendambakan perdamaian. Mereka lelah dengan konflik, kerusuhan yang sebenarnya tidak tahu apa penyebabnya.
Anak-anak ini hanya menjadi korban. Nabilla Sabban adalah satu dari sekian anak korban kerusuhan tahun 1999 yang membuat Ambon Manise luluh lantak. Saat itu, perempuan yang akrab disapa Bila ini berusia 12 tahun, kelas enam SD.
Rumah sekaligus harta bendanya hangus tidak tersisa. Demi keselamatan, orang tua memboyong Bila beserta adiknya ke Surabaya, Jawa Timur. “Saya harus lulus SD, kalau tetap di Ambon belum tentu bisa lulus,” kenang perempuan berusia 24 tahun ini.
Lulus SD, Bila kembali ke kota kelahirannya melanjutkan SMP hingga lulus SMA. Saat itu kondisi Ambon masih mencekam. Tidur tidak nyenyak, terganggu suara tembakan dan ledakan bom. Kerusuhan masih terjadi di beberapa lokasi.
“Setiap ada kerusuhan murid-murid disuruh pulang. Rasa ketakutan yang amat sangat setiap ada kerusuhan. Kerusuhan terjadi di depan mata, sampai ada teman sekelas yang meninggal karena dibunuh,” kenang Bila sambil bergidik.