Senin 11 Jun 2012 23:13 WIB

Uswah: Nabilla Sabban, Meretas Damai Lewat Musik (2)

Rep: Susie Evidia/ Red: Chairul Akhmad
Tifa totobuang, alat musik tradisional Ambon (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Tifa totobuang, alat musik tradisional Ambon (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Sejak kerusuhan 1999, sekolah sudah dipisah antara murid-murid yang beragama Islam dan yang Kristen. Kampung-kampung juga pecah, masyarakat khusus Muslim dan khusus Kristen. 

Yang tersisa hanya tiga kawasan netral, yaitu kantor gubernur, rumah sakit tentara, dan Hotel Mutiara tempat menginap para aktivis kemanusiaan. Kondisi ini membuat ruang gerak masyarakat Ambon semakin sempit.

Hal ini juga yang memutuskan sulung dari dua bersaudara ini hengkang sejenak hijrah ke Pulau Jawa. Ia memutuskan kuliah di Yogyakarta. 

“Pengalaman hidup di daerah konflik membuat saya tertarik mengambil jurusan yang berkaitan dengan masalah-masalah keamanan, resolusi konflik, dan HAM. Setelah lulus kuliah, saya kembali membangun Ambon,” ungkap Bila. 

Namun, niatnya sempat ditentang orang tua yang menginginkan anaknya bekerja sebagai PNS atau bekerja di bank.

Media musik

Perkenalannya dengan Hilda Rolo bessy—nominasi 1.000 perempuan dunia penerima Nobel Peace Prize—semakin memantapkan perempuan berlesung pipit ini terjun sebagai aktivis perdamaian dan HAM di Ambon. 

Islam adalah agama yang cinta damai. Baginya, misi utamanya ialah bagaimana konflik berkepanjangan di Ambon bisa surut dan warga kembali bersatu. Misi ini ditujukan kepada anak-anak muda sebagai generasi penerus. Pasalnya, mereka telanjur kena hasutan bahwa Islam itu musuh dan sebaliknya anak-anak Islam menganggap Kristen adalah musuh.

Media yang ditawarkan Bila bersama teman-temannya di Lakpesdam NU cukup sederhana dan membumi. Bukan kebijakan, bukan Pela Gandong, tetapi melalui musik tradisional. “Kultur orang Ambon tidak bisa dilepaskan dari musik. Makanya, alat musik dijadikan media pemersatu,” kata Bila, yang kini sedang menempuh pendidikan di Universitas Bradford, Inggris.

Alat musik tradisional yang dibo yong berupa Totobuang, Hadrat, dan Sawat. Alat musik ini mirip gamelan di Jawa dan rebana yang tidak bisa dimainkan sendiri, tetapi harus berkelompok. Ketiga jenis alat musik itu lalu dikolaborasikan. “Dari proses kolaborasi tersebut kita tanamkan nilai-nilai perdamaian, pelatihan, serta pembinaan,” papar Bila.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement